Minggu, 19 Juni 2016

AKUNTANSI SYARIAH FILOSOFI AKUNTANSI SYARIAH

MAKALAH
AKUNTANSI SYARIAH
FILOSOFI AKUNTANSI SYARIAH






OLEH :

ZULFIKAR HUSAIN (A31112322)
AHMAD FAIZ (A31112)




UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI
2015

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’a lamin, puji dan syukur kepada allah Subhanallahu wa Ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya kami penulis makalah dapat menyelesaikan makalah ini yang merupakan tugas dari mata kuliah Akuntansi Syari’ah yang membahas tentang Sejarah dan perkembangan Akuntansi Syari’ah.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami terutama kepada keluarga kami dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, kritik dan saran diharapkan dapat diberikan agar berguna untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.


                                                                                                Makassar, 17 Februari 2015



                                                                                                            (Penyusun)

















BAB. I
PENDAHULUAN
I.                   LATAR BELAKANG
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”.
Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah”atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu akuntansi Syariah?
2.      Bagaimana filosofi akuntansi syariah?
3.      Bagaimana konsep dasar teori akuntansi syariah?
4.      Bagaimana perkembangan kontemporer akuntansi syariah?
III.             TUJUAN
1.      Memahami apa itu akuntansi syariah
2.      Mendalami filosofi di balik  akuntansi syariah
3.      Mengetahui bagaimana konsep serta perkembangan akuntansi syariah!


bab. ii
pembahasan
    A.    pengertian Akuntansi Syari’ah
Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:

Artunya: ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun”sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    B.     AKUNTANSI SYARIAH : TEORI ILMU SOSIAL PROFETIK
Secara normative, masyarakat muslim mempraktikkan akuntansi berdasarkan pada perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) : 282. Perintah ini sesungguhnya bersifat universal dalam arti bahwa praktik pencatatan harus dilakukan dengan benar atas transaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lainnya. “Substansi” dari perintah ini adalah : (1) praktik pencatatan yang harus dilakukan dengan (2) benar (adil dan jujur). Substansi dalam konteks ini, sekali lagi, berlaku umum sepanjang masa, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sementara yang selalu terkait dengan “substansi” adalah “bentuk”. Berbeda dengan “substansi”, “bentuk” selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu “bentuk” akan selau berubah sepanjang masa mengikuti perubahan itu sendiri. Yang dimaksud dengan “bentuk” di sini adalah teknik dan prosedur akuntansi, perlakukan akuntansi, bentuk laporan keuangan dan lain-lainnya. Bentuk praktik akuntansi di negara Arab akan berbeda dengan bentuk praktik akuntansi di Indonesia. Demikian juga, bentuk praktik akuntansi di Amerika Serikat pada tahun 1700-an akan berbeda dengan praktik akuntansi pada tahun 2000-an sekarang ini. “Bentuk” selalu melekat dengan kondisi objektif (lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lainnya) dari masyarakat di mana akuntansi tadi dipraktikkan. Oleh karena itu, sangat wajar bila”bentuk” akuntansi di masing-masing negara / bangsa selalu berbeda. Bahkan di satu negara pun akan berbeda bentuknya jika dilihat dari masa ke masa.
Perintah normatif alquran di atas perlu dioperasionalkan dalam bentuk aksi / praktik. Sehingga perinah alquran dapat membumi (dapat dipraktikan) dalam masyarakat. Selama ini masyarakat muslim secara umum terperangkap pada aspek normative dalam memahami perintah-perintah agama, dan sebaliknya melupakan praktiknnya. Sebagai contoh misalnya umat muslim sering mednapatkan ceramah bahwa “bersih itu adalah sebagian dari iman”, tetapi ternyata dalam praktinya umat muslim tidak dapat mengerjakannya. Hal ini dibuktikan dengan keadaan masjid yang selalu kotor, rumah sakit Islam yang juga kotor, dan masih banyak contoh lainnya.
Di sini terlihat adanya jurang pemisah (gap) antara perintah normatif dengan praktiknya. Dalam kaitannya dengan ini Kuntowidjojo (1991) mengusulkan perlunya “ilmu sosial profetik”. Yang dimaksud dengan ilmu sosial profetik di sini adalah ilmu yang diturunkan dari alquran dan hadis (sunnah nabi) dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang nantinya digunakan untuk menjembatani antara perintah normative dengan praktik. Dengan ilmu ini, perintah-perintah normative menjadi lebih operasional dan dapat dipraktikkan dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, akuntansi syariah yang sedang kita bicarakan sebetulnya merupakan bagian dari upaya kita dalam membangun ilmu sosial profetik di bidang akuntansi. Perintah normative telah ada dalam alquran, berikutnya adalah menerjemahkan alquran dalam bentuk tori Akuntansi Syariah yang pada gilirannya digunakan untuk memberikan arah (guidance) tentang praktif akuntansi yang sesuai dengan syariah.
     C.    PRINSIP FILOSOFIS AKUNTANSI SYARIAH
Teori Akuntansi Syariah (dalam hal ini adalah knowledge) digunakan untuk memandu praktik akuntansi (action). Dari keterkaitan ini kita bisa melihat bahwa teori Akuntansi Syariah (knowledge) dan praktik Akuntansi Syariah (action) adalah dua sisi dari satu uang logam yang sama. Keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya juga tidak boleh lepas dari bingkai keimanan / tauhid (faith) yang dalam hal ini bisa digambarkan sebagai sisi lingkaran pada uang logam yang membatasi dua sisi lainnya untuk tidak keluar dari keimanan.
Dalam konteks lingkaran keimanan tadi, maka secara filosofis teori Akuntansi Syariah (sebagai salah satu ilmu sosial profetik) memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut (Kuntowidjojo 1991: Triyuwono 1995; 2000a; 2000b):
·         Humanis
·         Emansipatoris
·         Transendental, dan
·         Teleological
Humanis memberikan suatu pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah bersifat manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat dipraktikkan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang selalu berinteraksi dengan orang lain (dan alam) secara dinamis dalam kehidupan sehari-hari. Emansipatoris mempunyai pengertian bahwa teori Akuntansi Syariah mampu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap teori dan praktik akuntansi modern yang eksis saat ini. Perubahan-perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan yang membebaskan (emansipasi). Transendental mempunyai makna bahwa teori Akuntansi Syariah melintas batas disiplin ilmu akuntansi itu sendiri. bahkan melintas batas dunia materi (ekonomi). Dengan prinsip filosofis ini teori Akuntansi Syariah dapat memperkaya dirinya sendiri dengan mengadopsi disiplin ilmu lainnya (selain ilmu ekonomi), seperti: sosiologi, etnologi, fenomenologi, antropologi, dan lain-lainnya bahkan dapat mengadopsi nilai ajaran “agama lain”. Kemudian, aspek transedental ini sebetulnya tidak terbatas pada disiplin ilmu, tetapi juga menyangkut aspek ontology, yaitu tidak terbatas pada objek yang bersifat materi (ekonomi), tetapi juga aspek non-materi (mental dan spiritual). Demikian juga pada aspek epistemologinya, yaitu dengan melakukan kombinasi dari berbagai pendekatan. Sehingga dengan cara semacam ini, teori akuntansi syariah benar-benar akan bersifat emansipatoris.
Teleological memberikan suatu dasar pemikiran bahwa akuntansi tidak sekadar memberikan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi, tetapi juga memiliki tujuan transendental sebagai bentuk pertanggung jawaban manusia terhadap Tuhannya, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Prinsip filosofis ini menjadi bagian yang sangat penting dalam konstruksi Akuntansi Syariah, karena di dalamnya terkandung karakter yang unik yang tidak dapat ditemukan dalam wacana akuntansi modern. Teori Akuntansi Syariah memberikan guidance tentang bagaimana seharusnya Akuntansi Syariah itu dipraktikkan.





    D.    KONSEP DASAR TEORI AKUNTANSI SYARIAH
Lebih lanjut dikatakan oleh Hendriksen & Van Breda (1992) bahwa tujuan utama dari teori akuntansi ini adalah memberikan satu set prinsip yang diturunkan secara logis untuk dijadikan sebagai referensi dalam menilai dan mengembangkan praktik akuntansi.
Tabel prinsip filosofis dan konsep dasar teori akuntansi syariah
No
Prinsip Filosofis
Konsep Dasar
1

2


3

4
Humanis

Emansipatoris


Transendental

Teleologikal
·         Instrumental
·         Socio-economic
·         Critical
·         Justice
·         All-inclusive
·         Rational-intuitive
·         Ethical
·         Holistic Welfare

Konsep dasar socio-economic mengindikasikan bahwa teori Akuntansi Syariah tidak membatasi wacana yang dimilikinya pada transaksi-transaksi ekonomi saja, tetapi juga mencakup “transaksi-transaksi sosial”. “Transaksi sosial” di sini meliputi “transaksi” yang menyangkut aspek sosial, mental dan spiritual dari sumberdaya yang dimiliki oleh entitas bisnis (Cf. Mathews 1993).
Dari derivasi prinsip filosofis emansipatoris, kita mendapatkan konsep dasar critical dan justice. Konsep dasar critical memberikan dasar pemikiran bahwa konstruksi teori Akuntansi syariah tidak bersifat dogmatis dan eksklusif. Sikap kritis mengindikasikan bahwa kita dapat menilai secara rasional kelemahan dan kekuatan akuntansi yang lebih baik dari penilai kritis ini dapat dibangun teori akuntansi yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagai contoh misalnya, kita dapat melihat bahwa teori akuntansi modern memiliki kelehaman pada aspek penekanan ekonomi (materi) yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan efek pada tersingkirnya (atau tertindasnya) aspek-aspek non-materi (non-ekonomi). Aspek yang tersingkir atau tertindas ini, dengan menggunakan konsep dasar critical, diangkat atau dibebaskan memposisikan aspek materi (lihat Triyuwono 2000b). Jadi kalau kita lihat, posisi aspek materi dan non-materi pada teori akuntansi modern didudukkan pada posisi yang tidak adil. Oleh karena itu, dengan konsep dasar justice, aspek-aspek penting dalam akuntansi akan didudukkan secara adil.
Kemudian berikutnya adalah prinsip filosofis transendental. Dari prinsip ini kita akan mendapatkan konsepd asar all-inclusive dan rational-intuitive. Konsep dasar all-inclusive memberikan dasar pemikiran bahwa konstruksi teori Akuntansi Syariah bersifat terbuka. Artinya, tidak menutup kemungkinan teori Akuntansi Syariah akan mengadopsi konsep-konsep dari akuntansi modern, sepanjang konsep tersebut selaras dengan nilai-nilai Islam. Secara implisit, konsep ini mengarahkan kita pada pemikiran bahwa substansi lebih penting daripada bentuk.
Konsep dasar rational-intuitive mengindikasikan bahwa secara epistemologi, konstruksi teori Akuntansi Syariah memadukan kekuatan rasional dan intuisi manusia. Konsep ini tentunya sangat berbeda dengan konsep teori-tori modern. Teori-teori modern (termasuk akuntansi) mendudukkan rasio pada posisi sentral dan sebaliknya menyingkirkan intuisi dalam proses konstruksi teori. Intuisi, bagi proponen teori modern, berada di luar domain ilmu pengetahuan yang rasiona. Oleh karena itu, intuisi manusia tidak dapat dilibatkan dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Namun dalam kenyataannya, intuisi manusia memiliki kekuatan yang sangat besar dalam melakukan perubahan-perubahan signifikan dalam masyarakat. Intuisi inilah sebetulnya merupakan instrumen ajaib yang dapat melahirkan inovasi-inovasi yang tidak pernah terpikrkan sebelumnya. Jadi bukan suatu hal yang aneh, bila dalam konstruksi teori Akuntansi Syariah, intuisi merupakan instrumen yang sangat penting yang kemudian disinergikan dengan instrumen rasional manusia.
Selanjutnya dari pinsip filosofis teleologikal kita mendapatkan konsep dasar ethnical dan holistic. Ethical merupakan konsep dasar yang dihasilkan dari konsekuensi logis keinginan kembali ke Tuhan dalam keadaan tenang dan suci. Untuk kembali ke Tuhan dengan jiwa yang tenang dan suci, maka seseorang harus mengikuti hukum-hukum-Nya (Sunnatullah) yang mengatur baik-buruk, benar-salah, adil-zholim. Singkatnya, teori Akuntansi Syariah dibangun berdasarkan nilai-nilai etika Islam. Konsekuensi dari penggunaan nilai-nilai etika Islam dalam konstruksi Akuntansi Syariah adalah diakuinya bahwa kesejahteraan yang menjadi salah satu aspek Akuntansi Syariah tidak terbatas pada kesejahteraan materi saja, tetapi juga kesejahteraan non-materi. Jadi yang dimaksud dengan kesejahteraan di sini adalah kesejahteraan yang utuh (holistic welfare). Ini tentu sangat berbeda dengan teori akuntansi modern. Teori akuntansi modern hanya berorientasi pada kesejahteraan materi.
Konsep dasar yang telah dijelaskan di atas ini akan menjadi referensi bagi kita yang akan mengonstruksi teori akuntansi modern. Konsep dasar ini akan menghasilkan bentuk teori akuntansi yang berbeda dengan teori akuntansi modern. Dan pada gilirannya, akan menghasilkan bentuk praktik akuntansi yang berbeda dengan akuntansi modern saat ini.



    E.     DASAR HUKUM AKUNTANSI SYARIAH
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.      Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2.      Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3.      Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4.      Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5.      Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6.      Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7.      Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.      Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.      Modal dalam konsep Akuntansi Konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3.      Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4.      Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5.      Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.      Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Komponen laporan keuangan entitas Syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana qardh dan catatan atas laporan keuangan. Sedangkan komponen laporan keuangan konvensional tidak menyajikan laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana qardh.[1]

    F.      KONDISI OBYEKTIF LAHIRNYA PARADIGMA AKUNTANSI SYARIAH
            Lahirnya akuntansi syariah sekaligus sebagai paradigma baru sangat terkait dengan kondisi objektif yang melingkupi umat islam secara khusus dan masyarakat dunia secara umum. Kondisi tersebut meliputi : norma agama, kontribusi umat islam pada masa lalu, sistem ekonomi kapitalis yang berlaku saat ini, dan perkembangan pemikiran.
a.      Norma Agama
Ajaran normatif agama sejak awal keberadaaan islam telah memberikan persuasi normatif bagi para pemeluknya untuk melakukan pencatatan atas segala transaksi dengan benar dan adil sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Al-Baqarah : 282
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada utangnya... (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat inilah yang sebenarnya memberikan dorongan kuat kepada kaum muslim untuk  menggunakan akuntansi dalam setiap bisnis dan transaksi yang dilakukannya. Disamping itu juga ada ayat-ayat lain yang sangat kondusif bagi mereka untuk melakukan pencatatan, yaitu ayat-ayat tentang kewajiban membayar zakat. Ayat tersebut diantaranya adalah :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensuciksn mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.dan Allah  maha mendengar lagi maha mengetahui. (QS. At- Taubah: 103).
 Ayat-ayat tersebut sangat berpengaruh terhadap cara berbisnis  dan berprilaku umat islam dalam dunia nyata. Ayat tersebut tidak sekedar norma, tetapi adalah praktik yang bisa “membumi” dalam bentuk perilaku kehidupan manusia.
b.      Kontribusi Umat Islam
Sepintas deskripsi diatas secara sepintas sebetulnya sudah menunjukkan kontribusi umat islam sejak awal masa Islam terhadap akuntansi, yaitu teknik pembukuan itu sendiri. Disamping teknik pembukuan dimana akuntansi modern berkembang dengan basis sistem tata-buku berpasanagan (double entry book-keeping system) juga pengenalan angka arab-hindu, ilmu aljabar (matematika), dan sistem perdagangan merupakan faktor pemberi kontribusi  terbesar bagi berkembangnya akuntansi modern saat ini.

c.       Sistem Ekonomi Kapitalis
Tidak dapat dipungkiri geliat kapitalisme telah merambah dan menjerat setiap penjuru dan sudut kehidupan manausia. Gerak pikir dan perilaku kita secra sadar atau tidak berada dalam pangkuan pengaruh  kapitalisme ini. Kekuatan yang besar ini nyata, atau samar, mengeksploitasi kehidupan manusia dan alam semesta secara otomatis. Akuntansi modern juga tidak terlepas dari pengaruh ini. Pemikiran-pemikiran islam dan akuntansi syariah, misalnya merupakan pemicu untuk melakukan perubahan dan pembebasan.

d.      Perkembangan Pemikiran
Sejak tiga dekade terakhir ini, umat islam mulai menunjukkan geliat kehidupannya dari sudut jendela ilmu pengetahuan. Ismail Al-Faruqi, misalnya leawat islamisasi ilmu pengetahuannya seolah menggoyang tidur lelapnya umat islam untuk bangun mengonstruksi ilmu pengetahuan berdasarkan jiwa tauhid. Instrumen penyebar ide islamisasi ilmu pengetahuan ini telah didirikan di Herndon : Amerika Serikat, yang dikenal dengan anam international institute of islamic thught (IIIT).  Lembaga ini akhirnya menyebar keberbagai negara islam lainnya, seperti : Pakistan, Arab Saudi, Iran, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia lembaga ini didirikan sebagai cabang yang independen dengan anama international institute of islamic Tought-Indonesia(IIIT-I) pada November 1999 yang lalu.
IIIT melakukan islamisasi terhadap ilmu pengetahuan sosial, seperti : antropologi, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan lainnya. Di Indonesia IIIT-I memfokuskan diri pada konstruksi dan pengembangan Ekonomi Islam. Sementara, sampai saat ini wacana ekonomi islam yang telah turunp pada dunia empiris adalah lembaga keuangan (bank syariah, baitul mal wa tamwil), asuransi islam (takaful), dan reksadana syariah.

G. PERKEMBANGAN KONTEMPORER AKUNTANSI SYARIAH
a)      Pengaruh Islam terhadap Perkembangan Akuntansi
`Sebelum berdirinya pemerintahan Islam, peradaban didominasi oleh dua bangsa besar yang memiliki wilayah yang luas, yakni Romawi dan Persia. Saat Nabi Muhammad SAW lahir, sebagian besar daerah di Timur Tengah berada dalam jajahan, daerah syam dijajah oleh Romawi, sedangkan Irak dijajah oleh Persia. Adapun perdagangan bangsa Arab Mekkah terbatas ke Yaman pada musim dingin dan Syam pada musim panas.
Pada saat itu, akuntansi sudah digunakan oleh para pedagang dalam bentuk perhitungan barang dagangan sejak mulai berdagang sampai pulang. Perhitungan tersebut dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan, untung atau rugi. Bahkan, orang-orang Yahudi yang pada saat itu berdagang dan menetap juga telah menggunakan akuntansi untuk transaksi utang-piutang mereka.
Praktik akuntansi pada masa Rasulullah SAW mulai berkembang setelah ada perintah Allah melalui Al-Qur’an untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai (Al-Baqarah 282) dan untuk membayar zakat. Perintah Allah dalam Al-Baqarah 282 tersebut telah mendorong setiap individu senantiasa menggunakan dokumen ataupun bukti transaksi. Adapun perintah Allah untuk membayar zakat mendorong umat Islam saat itu untuk mencatat dan menilai aset yang dimilikinya. Berkembangnya praktik pencatatan dan penilaian aset merupakan konsekwensi logis dari ketentuan membayar zakat yang besarnya dihitung berdasarkan persentase tertentu dari aset yang dimiliki seseorang yang telah memenuhi kriteria nisab dan haul.

b)      Faktor yang mengantarkan Perkembangan Akuntansi di Negara Islam
Daulat abbassiyah, 132-232H/750-847 M memiliki banyak kelebihan dibanding yang lain dalam pengembangan akuntansi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus.Diantara contoh buku-bukukhusus yang dikenal pada masa kehidupan negara islam itu adalah sebagai berikut:
1.      Daftarul nafaqat (Buku Pengeluaran) Buku ini disimpan di diwan nafaqat dan diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran khilafah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2.      Daftarun Nafaqat Wal Iradat(Buku Pengeluaran dan Pemasukan) buku ini disimpan di Diwanil mal, dandiwan ini bertanggung jawab atas pembukaan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya
3.      Daftar Amwalil Mushadarah (Buku harta Sitan) Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senir negara pada saat itu.
Umat islam juga mengenal buku Khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupadengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or accounts receivable subsidiary ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa persia, kemudin digunakan dalam bahasa Arab. Aurajdigunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuksetiap orang yang dibebani untuk membayar pajak,didalamnya dicatat jumlah pajak yangarus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi.
Disamping itu, kaum muslimin dinegara islam mengenal pembagian piutang menjadi tiga kelompok:
1.      Ar Ra’ij minal mal , yaitu piutang yang memungkinkna untuk didapatkan, yaitu apa yang dikenal dengan nama Ad Duyunul jayyidah,dalam bahasa inggris dikenal dengan Collectable Debts
2.      Al Munkasir minal mal, yaitu piutang yang mustahil untuk didapatkan, sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dalam bahasa inggris dikenal dengan Bad Debts atau Uncollectable Debts
3.      Al Muta’adzir wal  mutahayyir wal muta’aqqid minal mal, yaitu piutang yang diragukan untuk didapatkan, dalam bahasa inggris adalah Doubtful Debts.
c.       Praktik Akuntansi Pemerintahan Islam
Kewajiban zakat berdampak pada pendirian Baitulmal oleh Rasulullah, yang berfungsi sebagai lembaga penyimpan zakat beserta pendapatan lain yang diterima negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah memilik 42 pejabat yang digaji dan terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri. Praktik akuntansi pada zaman Rasulullah baru berada pada tahap penyiapan personal yang menangani fungsi-fungsi lembaga keuangan negara. Pada masa tersebut, harta kekayaan yang diperoleh negara langsung didistribusikan setelah harta tersebut diperoleh. Dengan demikian, tidak terlalu diperlukan pelaporan atas penerimaan dan pengeluarannya.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, penerimaan negara meningkat secara signifikan. Dengan demikian, kekayaan negara yang disimpan juga semakin besar. Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran negara. Kemudian, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan unit khusus bernama Diwan yang bertugas membuat laporan keuangan sebagai bentuk akuntabilitas Khalifah atas dana Baitulmal yang menjadi tanggungjawabnya. Selanjutnya, reliabilitas laporan keuangan pemeritahan dikembangkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz berupa praktik pengeluaran bukti penerimaan uang. Kemudian, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya.
Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiah. Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi, antara lain; akuntansi peternakan, akuntasi pertanian, akuntansi bendahara, akuntansi konstruksi, akuntansi mata uang, dan pemeriksaan buku (auditing). Pada masa itu, sistem pembukuan telah menggunakan model buku besar, yang meliputi :
a. Jaridaj al-Kharaj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan pembukuan pemerintah terhadap piutang pada individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan yang telah dibayar. Piutang dicatat disatu kolom dan pembayaran cicilan dikolom yang lain.
b. Jaridah an-Nafaqat (jurnal pengeluaran), mencatat pengeluaran
c. Jaridah al-Mal (jurnal dana), mencatat penerimaan dan pengeluaran
d. Jaridah al-Musadareen, pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan denda atau sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk dari pejabat yang korup.
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain :
a. Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat perbulan
b. Al-Khitmah al-Jame’ah, laporann keuangan komperhensif yang berisikan gabungan antara laporan laba rugi dan neraca yang dilaporkan di akhir tahun.
 Istilah Zornal (sekarang journal) telah lebih dahulu digunakan oleh kekhalifahan Islam dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Double entry yang ditulis oleh Pacioli, telah lama dipraktekkan dalam pemerintahan Islam. Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi di dunia Islam telah berkembang dan dipraktekan jauh sebelum terbitnya buku “Summa de Arithmetica Geometrica, Proportioni et Proportionalita” pada tahun 1494 M karya Lucas Pacioli yang oleh barat diklaim sebagi “bapak” akuntansi modern. Dalam perkembangannya, klaim barat tersebut ternyata banyak diragukan oleh para peneliti.
D) Berbagai Pendekatan dalam Mengembangkan Akuntansi Syariah
a)      Pendekatan Induktif Berbasis Akuntansi Kontemporer
Pendekatan ini biasa disingkat dengan pendekatan induktif, yang dipelopori oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution). Pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan Barat yang sesuai dengan organisasi bisnis Islam dan mengeluarkan bagian yang bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan relevan dengan intitusi yang memerlukannya. Selain itu, pendekatan ini sesuai dengan prinsip ibaha (boleh) yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terkait dalam bidang muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya.
Adapun argumen yang menentang pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu dan dipandang merusak karena mengandung asumsi yang tidak Islami.
b)      Pendekatan Deduktif dari Sumber Ajaran Islam
Pendekatan deduktif ini dipelopori oleh beberapa pemikir akuntansi syariah, antara lain Iwan Triyuwono, Akhyar Adnan, Gaffikin dan beberapa pemikit lainnya. Mereka berpandangan bahwa tujuan akuntansi syariah adalah pemenuhan kewajiban zakat.
Pendekatan ini diawali denngan menentukan tujuan berdasarkan prinsip ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
 Kemudian tujuan tersebut dignakan untuk mengembangkan akuntansi kontemporer.Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa pendekatan ini akan meminimalisasi pengaruh pemikiran sekuler terhadap tujuan dan akuntansi yang dikembangkan. Adapun argumen yang menentang menyatakan bahwa pendekatan ini sulit dikembangkan dalam bentuk praktisnya.
c)      Pendekatan Hibrid
Pendekatan ini didasarkan pada prinsipsyariah yang sesuai dengan ajaran Islam dan persoalan masyarakat yang akuntansi syariah mungkin dapat bantu menyelesaikan. Pendekatan ini dipelopori oleh pemikir akuntansi syariah Shahul Hameed.Pendekatan Hibrid secara parsial telah diterapkan di lingkungan beberapa perusahaan konvensional. Pendekatan ini mengapresiasi perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan di Eropa dalam tiga dekade terakhir, dan menganggap itu perlu diaplikasikan dalam akuntansi syariah. Dan selanjutnya yang perlu dilakukan oleh pemikir akuntansi Islam adalah mengembangkan triple bottom line menjadi fourt bottom line (ekonomi, sosial, lingkungan, dan kesesuaian syariah).
H. PERKEMBANGAN SISTEM AKUNTANSI MASYARAKAT MUSLIM
Pengembangan akuntansi pada negara Islam dimotivasi oleh agama dan diasosiasikan dengan kewajiban zakat pada tahun 2 H (624), akuntansi nampaknya dimulai dengan pendirian Dewans untuk pencatatan Baitul Mal pendapatan dan pengeluaran. Tanggal yang pasti aplikasi pertama kali sistem akuntansi pada negara Islam tidak diketahui, namun sistem tersebut didokumentasikan pertama kalinya oleh Al-Khawarizmy pada tahun 365 H (976). Sistem akuntansi disusun untuk mrefleksikan tipe proyek yang dikerjakan oleh negara Islam sejalan dengan pemenuhan terhadap syara’. Projek-projek tersebut termasuk industri, pertanian, keuangan, perumahan dan proyek jasa. Sistem akuntansi menggabungkan rangkain pembukuan dan prosedur pencatatan, beberapa prosedur-prosedur tersebut meruapakan sifat dasar dan digunakan untuk semua sistem akuntansi, sementara yang lain diperuntukkan bagi sistem akuntansi tertentu. Sebagaimana disebutkan diatas, orang yang diberi tanggung jawab ini disebut dengan Al-Kateb (Pembukuan/akuntan)
Tujuan sistem akuntansi adalah untuk, memfasilitasi pengembilan keputusan secara umum, evaluasi proyek, meskipun sistem ini diinisiasi bagi tujuan pemerintahan, namun beberapa juga diimplementasikan oleh wiraswasta untuk mengukur keuntungan yang akan dikenakan zakat, kesuksesan aplikasi sistem akuntansi oleh pemerintah telah mendorong wiraswasta untuk mengadaptasi sistem yang sama khususnya untuk tujuan zakat.
Sistem akuntansi didiskusikan dan dianalisa disini secara mendalam telah disebutkan oleh Al-Khawarizmy dan detailnya oleh Al-Mazenderany, sistem akuntansi tersebut berorientasi income-statement (laporan laba rugi). Dan dirancang untuk menyediakan kebutuhan segera negara Islam, beberapa sistem akuntansi disandingan dengan transaksi monetary dan monetery sementara yang lain hanya disandarkan pada ukuran moneter. Alasan penggunaan moneter dan non moneter secara simultan adalah untuk menjamin ketepatan pengumpulan, pembayaran, pencatatan dan kontrol pendapatan dan pengeluaran negara.
Enam sistem akuntansi khusus di kembangkan dan dipraktekkan dalam negara Islam sebagaimana didokumentasikan oleh Al-Khawarizmy dan Al-Mazendariny yaitu pada tahun 765H/1363M antara lain:
1.      Stable Accounting (Accounting for Livestock): sistem ini dibawah pengendalian manajer pemeliharaan ternak dan membutuhkan relevanasi transaksi dan pristiwa dicatat saat terjadinya hal-hal tersebut, transaksi dengan sistem ini misalnya, makanan untuk unta, kuda, dan keledai; gaji, hewan yang dijual, hewan yang disumbangkan atau hewan  telah mati.
2.      Rice Farm Accounting (Agricultural Accounting):Hal ini nampaknya merupakan sistem non-moneter karena memerlukan pencatatan quantitas padi yang diterima dan dibayar serta spesifikasi lahan hasil pertanian. Sistem ini dijelaskan oleh Al-Mazadarany dan Al-Khawarizmy dengan tidak adanya pemisahan tugas antara pencatatan dan pengaturan persediaan.
3.      Warehouse Accounting: jenis ini didesain untuk akun pembelian persediaan negara. Sistem ini ditempatkan dibawah pengawasan secara langsung oleh seseorang yang dikenal dapat dipercarcaya. Sistem ini mensyaratkan pencatatan detail dari tiap barang yang diterima dan sumber pengiriman dalam buku yang dipersiapkan untuk tujuan tersebut.
4.      Mint Accounting (Currency Accounting): Sistem akuntansi ini dirancang dan diimplementasikan di negara Islam sebelum abad ke 14 M, sistem ini memerlukan kecepatan konfersi emas dan perak yang diterima oleh otoritas keuangan dalam bentuk batangan atau koin. Lebih jauh sistem ini mensyaratkan kecepatan pengiriman batang emas dan koin kepada pihak berwenang. Hal ini menyarankan bahwa sistem tidak mengizinkan bahan baku (emas dan perak) atau produk akhir (emas batangan dan koin) disimpan untuk waktu lama. Penerimaan otoritas pencetakan dikalkulasikan sekitar 5% dari biaya emas dan perak, atau sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan
5.      Sheep Grazing Accounting: Akuntansi bentuk ini diinisiasi dan diterapkan oleh otoritas pemerintahan di negara Islam, dan digunakan oleh pihak swasta untuk mengukur keuntungan atau kerugian untuk tujuan zakat.
6.      Treasury Accounting: sistem ini digunakan oleh pemerintah dan memerlukan catatan rutin semua penerimaan perbendaharaan dan pembayaran. digunakan sebagai catatan penerimaan perbendaharaan dan pembayaran dalam bentuk kas dan yang sejenisnya.


I. ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS
Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
·         Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expendituresyang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
·         Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory(seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ateET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq(penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
·         Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:
J. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN KONVENSIONAL
Meskipun lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional memiliki banyak perbedaan, namun tidak menutup kemungkinan tentang persamaannya. Persamaan lembaga keuangan syari’ah dengan konvensional meliputi: (1) teknis penerimaan uang; (2) mekanisme transfer; (3) teknologi computer yang digunakan; (4) syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KT, NPWP, proposal dan lain sebagainya.
Perbedaan lembaga keuangan syariah dengan konvensional meliputi: pertama, aspek akad (transaksi) dan legalitas; Setiap lembaga keuangan syariah keuangan dalam lembaga keuangan syariah, baik dalamhal barang, praktisi transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentauan lembaga keuangan syariah, seperti rukun dan syaratnya. Kedua, bisnis dan usaha yang dibiayai; terdapat saringan kehalalan, kemanfaatan dan kemaslahatan. Untuk menentukan kehahalan, kemafaatan dan kemaslahatan dapat diidentifikasi melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a.       Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
b.      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat?
c.       Apakah proyek berkaitan dengan pebuatan mesum / asusila?
d.      Apakah protek berkaitan dengan perjudian?
e.       Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
f.       Apakah proyek dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bersifat absolute. Artinya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa saja bertambah seiring dengan perkembangan jaman yang ada. Hal lain yang harus ditunjukkan oleh LKS adalah lingkungan kerja (corporate culture) yang berbeda dengan LKK. Lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah dalam hal etika, misalnya: (a) amanah (dapat dipercaya); (b) shiddiq (benar); (c) fathonah (cerdas dan professional); (d) tabligh (mampu melaksanakan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi.
Lingkungan kerja dan corporate culture adalah cara berpakaian dan bertingkah laku, misalnya rapa, sopan dan menutup aurat, lemah lembut, akhlaq yang baik menghadapi nasabah, membudayakan senyum (bagian dari shadaqah), struktur organisasi, keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional Lembaga Keuangan Syariah dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Untuk memperjelas perbedaan LKS dan LLK dibicarakan pada pembahasan selanjutnya. Dari uraian diatas tampak bahwa lembaga keuangan syariah memiliki karakter yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional pada umumnya, meskipun ada kesamaan dalam hal-hal tertentu.














BAB III
PENUTUP
I.                  KESIMPULAN
Lahirnya sebuah paradigma dapat dipahami sebagai bagian dari siklus hukum tuhan (Sunatullah). Paradigma pra modern digantikan oleh paradigma modern yang positivistik. Demikian juga paradigma modern pada akhirnya nanti akan digantikan oleh paradigma lainnya, misalnya posmodern (Syariah). Gejala pergantian paradigma ini sebetulnya sudah tampak. Deskripsi-deskripsi diatas merupakan gejala yang konkret kemungkinan bergesernya paradigma lama. Akuntansi modern mulai dipertanyakan dan diragukan kesahihannya. Dimasa yang akan datang akuntansi modern tidak menutup kemungkinan akan digantiakan oleh akuntansi alternatif, yaitu akuntansi syriah yang sudah nampak sebagai bayi yang baru lahir.
II.                SARAN
Dalam kenyataan akuntansi syariah yang baru lahir ini membelah menjadi dua, yaitu akuntansi filosofis teoritis dan akuntansi syariah praktis. Yang pertama mencoba untuk mencari dasar-dasar filosofis yang transendental dalam rangka membangun akuntansi syariah. Sedangkan yang kedua lebih bersifat pragmatis untuk  memenuhi kebutuhan praktis yang ada saat ini. Kedua model akuntansi syariah ini dapat berjalan seiring sejalan yang secara positif dapat kita pandang sebagai proses pengayaan pada perbendaharaan akuntansi syariah.

III.             DAFTAR PUSTAKA
Drs. Muhammad, M.Ag., Pengantar Akuntansi Syari’ah. Salemba Empat, Jakarta, 2002.
Pengantar Akuntansi Syari’ah Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2004.
Triyuwono Iwan, Perspektif, Metolodologi dan Teori Akuntansi Syari’ah, Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2006.
            Muhammad.2005.” Pengantar Akuntansi Syariah”.Jakarta:salemba empatNurhayati,sri- Wasilah.2009.”Akuntansi Syariah di Indonesia“.Jakarta:salemba empat.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar