MAKALAH
AKUNTANSI SOSIAL
OLEH :
ZULFIKAR HUSAIN (A31112322)
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS EKONOMI
2014
PENDAHULUAN
Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke manajemen moderen khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum, karena menurut pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan infromasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan.
Sejak dekade tahun 70-an, masalah externality ini terus menjadi issu penting dikalangan profesi akuntan. Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh kongkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan infromasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan.
Sejak dekade tahun 70-an, masalah externality ini terus menjadi issu penting dikalangan profesi akuntan. Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh kongkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut.
PEMBAHASAN
I. DEFENISI AKUNTANSI SOSIAL
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accountingdan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihak–pihak yang berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki karakteristik yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988), yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari kegiatan entitas bisnis, (2) mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab sosial perusahaan, dan (4) sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.
1. Tujuan akuntansi sosial
Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994) adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1) mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah–masalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pos–pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan.
2. Pengukuran akuntansi sosial
Dalam pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan lingkungan sosialnya terdapat dua dampak yang timbul yaitu dampak positif atau yang disebut juga dengan manfaat social (Social benefit) dan dampaknegatif yang disebut dengan pengorbanan sosial (Social Cost). Masalah yang timbul adalah bagaimana mengukur kedua dampak tersebut. Menurut Harahap (1993), masalah pengukuran akuntansi sosial memang rumit, karena jika dibandingkan dengan transaksi biasa yang langsung dapat dicatat dan mempengaruhi posisi keuangan, maka dalam akuntansi sosial terlebih dahulu harus diukur dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan.
Lebih jauh Harahap (1993) menguraikan beberapa metode yang biasa dipakai dalam pengukuran Akuntansi sosial yaitu;
1. Menggunakan penilaian dengan menghitung Opportunity cost approach
2. Menggunakan daftar kuesioner
3. Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk barang perorangan dalam menghitung kerugian masyarakat
4. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga
Ansry Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989) memberikan beberapa teknik pengukuran yang dapat diapakai, antara lain ;
1. Penilaian pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat langsung ditentukan, maka dapat mengetimasikannya dengan nilai pengganti.
2. Teknik survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi dari kelompok masyarakat tentang pengukuran aktifitas sosial perusahaan.
3. Biaya perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang dikeluarkan oleh perusahaan sebuhubungan dengan lingkungan sosialnya.
4. Penilaian dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang kepada pihak luar untuk mengukur aktifitas sosial perusahaan
5. Putusan pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum
Secara empiris beberapa perusahaan di Amerika seperti IBM, Chase Manhattan corporation, Bank of Minneapolis telah memaparkan informasi social secara kuantitatif dalam laporan keuangannya, yang menunjukkan pengukuran ataas praktik pengukuran dampak social perusahaan mereka (Achmad Sonhadji, 1989)
3. Pelaporan, pengungkapan (disclosure)akuntansi sosial
Menurut Belkoui (1985) yang dikutip oleh Harahap (1993), pelaporan dalam akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan ini menurut Belkoui (1980) dalam Sawardjono (1991) didasari relevan atau tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini tergantung pada para pemakai informasi. Menurut Sawardjono (1991), peningkatan kebutuhan informasi ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah melaporkan tanggungjawab sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Inggeris, Australia dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. Estes (1976) dalam Achmad Sondhaji (1989) menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi sosial yang terdiri dari :
1. Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya
2. Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai dengan data kuantitatif
3. Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga menyusun laporannya dalam bentuk neraca
Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal, perusahaan-perusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk memberikan informasi kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar (stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan. Praktik pengungkapan sosial (social disclosure)dalam laporan tahunan perusahaan telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong perusahaan–perusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela untuk setiap periode mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat menunjukkan kepada kepada pihak–pihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan perusahaan yang dapat menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak merekomendasikan secara lebih spesifik tentang standar pelaporan externalities. Davidson (1993) memberikan contoh FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian dampak sosial khususnya mengenai dampak lingkungan. Davidson (1993) seorang direktur yang menangani urusan lingkungan di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock exchange commission) telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika Serikat sampai saat ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure) dan bukan merupakan suatu kewajiban (Mandatory disclosure), tetapi kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan mengungkapkan aktifitas sosial tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah suatu perusahaan dalam menjalankan fungsi – fungsi sosialnya.
Penelitian–penelitian yang dilakukan diluar negeri menunjukkan bahwa di Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di Singapura, Hackson dan Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam negara Eropa (Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew et.al (1989) di Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial perusahaan sudah menjadi hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa perusahaan besar lebih banyak mengungkap informasi sosialnya dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny dan Murtanto (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan masih bersifat kualitatif, dan kecenderungan perusahaan mengeungkapkan informasi positif daripada informasi negatif.
II. TINJAUAN PENERAPAN AKUNTANSI SOSIAL DI INDONESIA
Untuk membahas permasalahan bagaimana penerapan akuntansi sosial di Indonesia, maka akan diuraikan terlebih dahulu tentang krisis ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan kaitannya dengan permasalahan sosial yang terjadi pada beberapa perusahaan. Kemudian akan di bahas peran akuntansi sosial dalam mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan pada kondisi bisnis sekarang ini, yang didasarkan pada uraian teoritis sebelumnya.
1. Krisis ekonomi di Indonesia
Krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan sejak tahun 1997 telah mendongkrak bangsa ini pada posisi krisis multi dimensi pada hampir seluruh aspek kehidupan. Khususnya jika dilihat secara lebih rinci pada aspek ekonomi, sendi–sendi perekonomian (Investasi,produksi dan distribusi) lumpuh sehingga menimbulkan kebangkrutan dunia usaha, meningkatnya jumlah korban PHK, tingginya angka pengangguran, menurunnya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat, dan akhirnya bermuara pada bertambahnya angka-angka jumlah peduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Dengan tingginya suku bunga diatas enam puluh persen pada puncak krisis saat itu, sangat sulit bagi sektor perbankan untuk menggulirkan kredit, ditambah ketatnya aturan likuiditas disektor perbankan sebagai akibat dari akumulasi kredit macet grup Konglomerat dan anak perusahaan dari bank-bank bermasalah mendorong pemerintah melakukan likuidasi, restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Menurut Rizal Ramli (1998), krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia mengakibatkan timbulnya berbagai hal yang tidak pasti, sehingga indikator–indikator ekonomi seperti tingkat suku bunga, laju inflasi, nilai tukar, indeks harga saham gabungan, dan sebagainya sangat rentan terhadap isu–isu sosial. Hal ini membuktikan bahwa aspek sosial dan aspek politik dapat mengundang sentimen pasar yang bemuara pada instabilitas ekonomi. Kondisi seperti ini tentunya berdampak sangat buruk bagi peta bisnis dan iklim investasi di Indonesia terutama untuk mendapatkan kepercayaan investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Upaya-upaya pemerintah menyakinkan dunia Internasional akan stabilitas sosial politik dan keamanan belum menunjukkan tanda–tanda yang berarti karena tidak didukung oleh data dan fakta yang sebenarnya, bahkan beberapa Investor asing berencana melakukan relokasi bisnis dan investasinya ke negara Asia Tenggara lainnya seperti ke Vietnam,Thailand dan Kamboja yang dianggap lebih kondusif untuk berinvestasi seperti kasus pabrik sepatu di Tangerang, Banten dan Sidoardjo, Jawa Timur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi dan krisis sosial di Indonesia sampai saat ini masih menjadi dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, dan pengaruhnya terhadap dunia bisnis sangat signifikan, sehingga perusahaan yang ingin menjalankan operasional bisnisnya di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari permasalahan sosial yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Permasalahan sosial bagi perusahaan memang bukan menjadi target utama, karena banyak faktor–faktor lain seperti investasi, permodalan, produksi, pemasaran yang berkaitan langsung dengan aktifitas normal sebuah perusahaan, tetapi konsekuensi dari interaksi antara perusahaan dengan lingkungan yang sedang mengalami krisis sosial menjadi tidak dapat dihindari.
2. Permasalahan sosial dalam dunia bisnis di Indonesia
Tabel. 1 akan mengikhtisarkan beberapa contoh permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia.
TABEL . 1
CONTOH PERMASALAHAN SOSIAL PADA DUNIA BISNIS INDONESIA
ASALAH | Contoh kasus | Lokasi | Permasalahan Sosial |
01. | PT.Inti Indo Rayon Utama | Porsea Propinsi . Sumatera Utara | Dihentikan operasional karena adanya masalah lingkungan dan masalah dengan masyarakat sekitar industri |
02. | PT. Exxon mobils | Lhokseumawe Aceh utara Prop . DI Aceh | Menghentikan kegiatan produksi karena faktor stabilitas keamanan |
03. | PT.Ajinamoto Indonesia | Jakarta | Penarikan distribusi, pemasaran, dan aktifitas produksi karena masalah sertifikasi halal oleh MUI |
04. | Beberapa Perusahaan kertas di Riau | Propisi Riau | Mendapatkan protes dari masyarakat setempat sehubungan permasalahan limbah industri dan lingkungan |
05. | PT.Maspion Indonesia | Sidoarjo Surabaya Jawa Timur | Permasalahan demo buruh dan isu kesejahteraan karyawan |
06. | PT.Telkom Indonesia | Divre IV Jateng dan DIY | Serikat Karyawan (Sekar) PT.Telkom menolak penjualan Divre IV Kepada PT.Indosat |
07. | PT. BCA | Jakarta | Serikat Pekerja menolak Divestasi saham BCA |
08. | PT.Kereta Api Indonesia | Jakarta | Serikat Pekerja menolak kembalinya Dewan Direksi lama, karena dianggap bertanggung jawab atas beberapa kasus kecelakaan kereta api yang terjadi di Indonesia |
09. | Bank Internasional .Indonesia (BII) | Jakarta | Tuntutan Karyawan atas gaji, upah dan peningkatan kesejahteraan pekerja |
10. | PT.Gudang Garam | Kediri Jawa Timur | Mogok Kerja Massal karyawan menuntut perbaikan gaji dan kesejahteraan pekerja. |
Sumber : Review berbagai sumber
Sederetan data lain sebenarnya masih banyak lagi mengenai permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan PMA maupun PMDN di Indonesia. Tentunya gambaran ini semakin menunjukkan betapa dunia usaha sangat rentan dengan berbagai masalah sosial. Beberapa kasus maraknya aksi demo buruh, penjarahan gudang, perusakan gedung kantor dan pabrik, dan penggarapan lahan perusahaan karena masyarakat menyakini tanah ulayat dan hak–hak rakyat yang dirampas oleh penguasa pada masa lalu, semakin menguatkan fakta tentang stabilitas sosial yang tidak kondusif.
3. Peran Akuntansi Sosial
Situasi dan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas menuntut suatu entitas bisnis untuk mampu mengakses kepentingan lingkungan sosialnya yang diikuti dengan pengungkapan dan pelaporan kepada pihak–pihak yang berkepentingan sehingga melahirkan sebuah laporan (output) yang mendeskripsikan segala aspek yang dapat mendukung kelangsungan hidup sebuah entitas. Disinilah peran akuntansi diharapkan dapat merespons lingkungan sosialnya sebagai perwujudan kepekaan dan kepedulian entitas bisnis terhadap lingkungan sosialnya.
Akuntansi sosial secara teoritis mensyaratkan perusahaan harus melihat lingkungan sosialnya antara lain masyarakat, konsumen, pekerja, pemerintah dan pihak lain yang dapat menjadi pendukung jalannya operasional karena pergeseran tanggungjawab perusahaan. Untuk mendapatkan gambaran inilah perusahaan harus mampu mengakses lingkungan sosialnya, setelah itu untuk menindak lanjuti dan mengukur kepekaan tersebut perusahaan memerlukan informasi secara periodikal, sehingga informasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi semua pihak (Shareholders, stakeholders, debtholders). Akuntansi sosial dilaksanakan atas dasar aktifitas sosial yang dijalankan oleh suatu entitas bisnis, selanjutnya diproses berdasarkan prinsip, metode dan konsep akuntansi untuk diungkapkan bagi pihak – pihak yang berkepentingan, kemudian dari informasi yang dihasilkan pengguna informasi akan dapat menentukan kebijakan selanjutnya untuk aktifitas sosial dan kebijakan untuk lingkungan sosial entitas bisnis yang dijalankan.
Kemudian jika permasalahan akuntansi sosial ini dikaitkan dengan prinsip dasar goodcorporate governance(GCG) yang menjadi issu penting pengelolaan perusahaan saat sekarang ini, khususnya pada prinsip Responsibility yang berbicara tentang bagaimana entitas bisnis bertanggung jawab kepada stakeholdersdan juga lingkungan, Satyo (2001) menulis bahwa prinsip dasar good corporate governance (pengelolaan yang baik), ini mengharuskan perusahaan untuk memberikan laporan bukan hanya kepada pemegang saham, calon investor, kreditur dan pemerintah semata tetapi juga kepada stakeholders lainnya, seperti masyarakat umum, konsumen, serikat pekerja dan karyawan perusahaan secara individu.
Saat ini tuntutan pengelolaan perusahaan dengan baik (Good Corporate Governance)juga telah menjadi issue global, dimana perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan operasionalnya di Indoensia selalu berusaha meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, sehingga perusahaan tidak hanya mementingkan motif bisnisnya saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat. Harahap (1993) memberikan contoh bagaimana penerapan kepedulian sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ditunjukkan dalam bentuk partisipasi sponsorship kegiatan keagamaan dan penyaluran beasiswa pendidikan.
4. Praktik pengungkapan sosial (Social Disclosure) di Indonesia
Praktik pengungkapan sosial bagi perusahaan di Indonesia yang ingin mengungkapkan lingkungan sosialnya dapat berpedoman kepada standar yang telah dikeluarkan dan diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia, dimana secara implisit telah mengakomodasi hal tersebut . Sebagaimana tertulis pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 1 (Revisi 1998). Paragraf 9 yang berbunyi sebagai berikut:
“ Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah ( value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor – faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Berdasarkan PSAK diatas, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat melaporkan kegiatan sosialnya untuk dikomunikasikan kepada pihak luar dalam bentuk laporan nilai tambah, sehingga dapat dipahami bahwa upaya untuk pelaporan tanggungjawab sosial perusahaan sudah diakomodir oleh profesi akuntan di Indonesia.
Untuk melihat lebih jauh praktik pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan di Indonesia, para peneliti akuntansi telah melakukan berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Utomo (2000); Heny dan Murtanto (2001). Hasil riset tersebut menemukan bahwa perusahaan di Indonesia mengungkapkan 3 tiga tema utama dalam pengungkapan sosialnya, yaitu ketenagakerjaan, produk dan konsumen dan tema kemasyarakatan (lihat lampiran 1).
Penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2000) tersebut juga menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial oleh perusahaan–perusahaan di Indonesia relatif masih sangat rendah, dan diduga perusahaan tidak memanfaatkan laporan tahunan sebagai media komunikasi antara perusahaan dan Stakeholders lainnya. Sementara penelitian Heny dan Murtanto (2001) menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan sosial di Indonesia masih relatif rendah yaitu 42,32 %. Pengungkapan sosial dilakukan oleh perusahaan paling banyak ditemui pada bagian catatan atas laporan keuangan dan tipe pengungkapan yang paling banyak digunakan adalah tipe naratif kualitatif.
III. PERMASALAHAN
Berdasarkan penjabaran dan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, menunjukkan bahwa dunia usaha di Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang timbul memang bukan mutlak disebabkan oleh tidak responsifnya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap lingkungan sosial, tetapi turut dipengaruhi faktor-faktor makro lainnya. Namun demikian beberapa kasus yang diuraikan pada Tabel 1 membuktikan bahwa dunia bisnis di Indoensia sangat rentan dengan konflik sosial, dan ini tidak terlepas dari perubahan lingkungan sosial seperti peta politik dan era reformasi. Permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia juga terjadi karena lemahnya penegakan peraturan tentang tanggungjawab sosial perusahaan, misalnya tentang aturan ketenagakerjaan, pencemaran lingkungan, perimbangan bagi hasil suatu industri dalam era otonomi daerah.
Perlunya informasi lengkap untuk mengetahui masalah sosial yang berkenaan langsung dengan lingkungan sosial suatu entitas bisnis dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk mendeteksi secara langsung stabilitas lingkungan sosial dan hubungannya dengan kelangsungan hidup perusahaan, dan disinilah peran akuntansi sosial mengkomunikasikan hubungan antara entitas bisnis dengan entitas sosial melalui pengungkapan sosial (sosial disclosure) perusahaan secara periodik, sehingga dapat menjembatani dan meminimalisir permasalahan-permasalahan sosial yang muncul pada dunia usaha (entitas bisnis) di Indonesia.
Penerapan pengungkapan sosial di Indonesia masih sangat rendah dibuktikan oleh hasil penelitian Muslim Utomo (2000); Heny dan Murtanto (2001) yang mengindikasikan pula bahwa praktik akuntansi sosial di Indonesia masih sangat rendah, sehingga kesimpulan analisis Bambang Sudibyo (1988) dalam Arief Suadi (1988) yang menyatakan bahwa kesadaran akan pertanggungjawaban sosial perusahaan di Indonesia sangat rendah sampai saat ini secara umum masih dapat diterima dengan melihat bukti-bukti empiris penerapan akuntansi sosial bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Rekomendasi Harahap (1993) tentang perlunya pengembangan akuntansi sosial di Indonesia dinilai masih relevan untuk dapat menciptakan suatu kondisi stabilitas sosial dari lingkungan sosial suatu entitas bisnis, sehingga diperlukan kepedulian dan kepekaan suatu entitas bisnis terhadap permasalahan sosial yang turut mendukung terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia.
Dengan demikian makalah ini merekomendasikan pengungkapan sosial pada laporan tahunan perusahaan hendaknya bukanlah merupakan pengungkaapan secara sukarela (Voluntary disclosure), tetapi dapat dipikirkan untuk menjadi suatu keharusan (Mandatory disclosure). Disinilah peran organisasi dan profesi akuntan dituntut untuk merespon perkembangan lingkungan dunia bisnis di Indonesia yang senantiasa berubah dengan sangat cepat.
Selanjutnya implementasi dari pengungkapan sosial bagi setiap entitas pelaku bisnis di Indonesia diharapkan mampu menciptakan informasi yang bermanfaat, sehingga entitas bisnis tidak rentan terhadap masalah–masalah diluar perekonomian (misalnya masalah sosial dan politik).
5. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia diuraikan sebagai berikut :
1. Akuntansi Sosial masih menjadi pro dan kontra di dunia akuntansi sampai saat ini mengingat masih terdapatnya pro dan kontra tentang sejauh mana perusahaan harus bertanggung jawab kepada lingkungan sosialnya
2. Akuntansi Sosial didefinisikanoleh para pakar akuntansi sebagai proses untuk mengukur,mengatur dan melaporkan dampak interaksi antra perusahaan dengan lingkungan sosialnya
3. Untuk mengukur manfaat social (social Benefit) maupun pengorbanan social (Social Cost) dapat dipergunakan cara penilaian pengganti, teknik survey dan keputusan dari pengadilan, dan beberapa teknik lainnya yang direkomendasikan oleh para ahli dan bukti-bukti empiris praktik akuntansi sosial di Amerika.
4. Pelaporan dan pengungkapan sosial di beberapa negara maju sudah lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendeskripsikan kepedulian sosialnya kepada para pemakai laporan keuangan
5. Penerapan akuntansi sosial di negara Indonesia masih mengalami kendala-beberapa kendala, diantaranya kesadaran dunia bisnis yang masih rendah dan kurangnya penegakan aturan tentang tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia.
6. Praktik pengungkapan sosial perusahan-perusahaan di Indonesia juga masih sangat rendah karena diduga perusahaan masih berorientasi kepada para Shareholder dan debtholderssaja.
Daftar Referensi
Achmad Sonhadji, 1989 Akuntansi Sosial : Perananya dalam mengukur tanggung jawab social perusahaan, suatu tinjauan analitis, majalah akuntansi, no. 10 bulan Oktober
Adam, Carol, A, et.al .1997. Coorporate Sosial Reporting Practices in Western Europe :Legitimating Corporate behavior, Working Paper, Departement of Accounting and Finance, University of Glasglow, England.
Adrew, BH. FA. Gaul, et.al, 1989. A Note of Corporate Sosial Disclosure Practise in Developing Cotries : The Cases of Malaysia and Singapore, British Accounting Review, Vol.21 pp. 371-376
Arief Suadi, et.al, 1988. Akuntansi Sosial : Implikasi dan Kemungkinan Pengembangan di Indonesia, majalah akuntansi, no. 11 bulan Nopember.
Azhar Maksum, 1991. Pengaruh Kebudayaan atas beberapa aspek akuntansi, majalah akuntansi, no. 4 bulan April
Davidson,1993. Environmental Financial disclosure : What to say and where to say it, Chemical Week, December edition, published by UMI database Journal, USA
Hackston, David and Markus J Milne,1996. Some Determinant of Sosial and Enviromental Disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing ad Accountability Journal, Vol.9. No 1 pp.77-108
Harahap Sofyan Safri, 1988, Sosio Economic Accounting (SEA) : Menyoroti etika dan tanggung jawab social perusahaan, Majalah Akuntansi No. 3 bulan Maret
__________________, 1993, Teori Akuntansi, edisi satu, cetakan ke dua, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
__________________, 2001, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam, cetakan ke pertama, November 2001, Penerbit Pustaka Quantum,Jakarta.
Hendriksen Eldon.S,1994,Accounting Theory, Third Edition, Mc.Hill, USA.
Henny dan Murtanto, 2001, Analisis pengungkapan social pada Laporan Tahunan, Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Universitas Trisakti, Jakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), 1999. Standar Akuntansi Keuangan, buku satu, Salemba empat diterbitkan untuk IAI , Jakarta.
Ince, Davult. 1997. Determinant of Sosial and environmental Discolusre of UK Company, paper , Interdiciplinary Perspective o Accounting Conference, Manchester, England
Rizal Ramli, 1999, Masa Depan Ekonomi Indonesia, makalah, disampaikan Pada seminar nasional sehari Pemulihan Ekonomi Indonesia, ISEI cabang Medan ,13 Pebruari 1999, di Medan
Satyo, 2001, Pengungkapan Sosial dalam Laporan tahunan, artikel,Media Akuntansi,edisi 17/April Mei,2001,Penerbit PT.Intama Artha Indonusa, Jakarta
Sawardjono,1991, Pencantuman Kegiatan Eksternal ke dalam Laporan Keuangan, Akuntansi, No 4 April
Tsang, Eric, WK. 1998. A Longitudinal Study of Corporate Sosial Reporting in Singapore : The Cases of Banking, Food and Beverages and Hotel Industries, Accounting, Auditing and Accountability journal, Vol.11 No 5,pp. 624-635.
Muslim Utomo, 2000, Praktik pengungkapan sosial pada laporan tahunan perusahaan di Indonesia,Lapora penelitian, Simposium Nasional Akuntansi III, IAI Kompertemen Akuntan Pendidik , Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar