Selasa, 28 Juni 2016
Tax Amnesty Dan Harta Di Luar Negeri
Tax Amnesty yang direncanakan akan disahkan merupakan bagian dari RUU Pengampunan Pajak yang dibuat diantaranya karena terdapat banyak harta, berupa uang tunai (kas) atau setara kas hingga harta selain kas atau setara kas, baik di dalam maupun luar negeri yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi nasional.
RUU Tax Amnesty bertujuan agar atas harta tersebut, baik dalam maupun luar negeri, dapat diberikan pengampunan pajak yang seharusnya terutang, baik sanksi administrasi hingga sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan.
Harta, berdasarkan RUU, adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha baik yang berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Sedangkan uang tebusan diterapkan atas harta bersih dengan melihat selisih antara nilai harta dikurangi nilai utang.
Berdasarkan UU Pajak, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dapat melakukan pemeriksaan pajak atas penghasilan berupa harta atau tambahan kekayaan yang belum dilaporkan yang dapat berupa harta di dalam dan luar negeri meski dengan daluarsa pajak selama lima tahun kecuali untuk penyidikan pajak.
Tulisan ini akan melihat permasalahan atas penerapan RUU Tax Amnesty atas pelaporan harta berupa kas atau setara kas hingga harta selain kas terutama yang berada di luar negeri yang menjadi sasaran utama dari Tax Amnesty.
RUU Tax Amnesty menyasar harta kas dan setara kas diantaranya lewat dana tunai yang berada di perbankan asing, utamanya offshore banking, yang mengacu pada fakta bahwa banyak dana wajib pajak Indonesia yang disimpan di Negara lain.
RUU dibuat dengan salah satu pertimbangan bahwa akan ada pertukaran informasi keuangan antar Negara yang didasarkan atas common reporting standard yang dibuat oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) dan G20 serta diikuti oleh Negara tempat offshore banking berada seperti Singapura, Hong Kong, Swiss, Luxembourg, British Virgin Island hingga Cayman Island sehingga informasi rekening atau account keuangan dari wajib pajak Indonesia akan dapat diketahui oleh Ditjen Pajak secara otomatis dimana informasi meliputi informasi rekening bank hingga informasi atas penghasilan investasi berupa dividen, bunga atau capital gain.
Harta berupa kas atau setara kas dapat lebih mudah dialihkan ke Indonesia dan dapat dilacak dengan mudah oleh Ditjen Pajak sehingga Wajib Pajak mempunyai risiko besar jika tidak melaporkan harta tersebut.
Penyembunyian harta
Dapat dipastikan bahwa banyak harta wajib pajak di luar negeri tidak hanya uang tunai tapi juga harta selain kas yang dapat berupa saham, harta tak berwujud seperti merek (brand), hingga properti seperti rumah, tanah, apartemen atau harta tak bergerak lainnya. RUU Tax Amnesty belum mengatur harta yang disekuritisasi (asset-backed securities) sebagai bagian dari transaksi financing yang dapat melibatkan offshore company.
Dalam RUU, dijelaskan bahwa wajib pajak dapat memperoleh pengampunan pajak dengan membawa harta selain kas kembali ke Indonesia, namun tidak dijelaskan tentang penilaian harta seperti properti dan saham tersebut termasuk jika ada capital gain apabila dijual karena harta tersebut harus dihitung untuk dialihkan dan diinvestasikan di Indonesia sehingga mungkin diperlukan peraturan tentang jasa penilai (appraisal) untuk harta di luar negeri seperti properti.
Untuk harta berupa saham hal ini terungkap dengan kasus Panama Papers, wajib pajak dapat mendirikan shell company sebagai pemilik dari properti, saham hingga merek, namun tidak melaporkan kepemilikan saham. Permasalahannya, di beberapa Negara, pemilik (beneficial owner) dari perusahaan (limited liability company) hingga badan lainnya seperti trust, partnership atau yayasan tidak wajib dicatat sehingga, sebagai contoh, saham untuk kepemilikan perusahaan dapat bersifat anonim karena adanya bearer shares yang dapat dikatakan sebagai saham atas unjuk sehingga siapapun yang memegang saham dari shell company tersebut.
OECD bersama G20 telah merencanakan peningkatan transparansi berupa pertukaran informasi otomatis, selain informasi perbankan, berupa informasi beneficial owner atau kepemilikan badan usaha termasuk trust dan mewajibkan adanya pencatatan beneficial owner dari badan usaha di tiap Negara sehingga akan menyulitkan penyembunyian harta lewat shell company di luar negeri. Di tahun 2014, dalam Brisbane Summit, OECD, dan G20 untuk pertama kalinya meluncurkan wacana pengumpulan beneficial ownership dari badan usaha untuk mendukung transparansi.
Jika ini diterapkan, sebagai contoh, otoritas pajak dapat mengetahui beneficial owner dari SPV yang berada dari kasus petral di Singapura. Tanpa informasi beneficial owner, akan ada kerugian berupa penghasilan luar negeri yang tidak diketahui, kerugian tidak dapat diterapkannya peraturan transfer pricing karena tidak diketahui adanya hubungan istimewa disebabkan ketiadaan informasi kepemilikan badan usaha, kerugian tidak dapat diterapkannya peraturan controlled foreign corporation rules berupa pajak atas dividen dari perusahaan luar negeri milik wajib pajak Indonesia hingga kerugian berupa pajak capital gain dari Penjualan harta di luar negeri milik wajib pajak Indonesia.
RUU Tax Amnesty belum mengatur secara jelas bagaimana harta selain kas seperti saham hingga properti di luar negeri dapat mengikuti pengampunan pajak seperti penilaian atas harta hingga pertimbangan rencana pertukaran informasi otomatis atas beneficial ownership antar Negara meski diharapkan RUU dapat mengaturnya demi kepastian hukum.
sumber : Kontan 27 Juni 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar