Brexit adalah singakatan dari Britain dan Exit yang kemudian disingkat menjadi Brexit. Hal ini seperti kejadian beberapa waktu lalu yang dilakukan oleh Yunani dengan singkatan Grexit (Greek Exit). Brexit merupakan sebuah wacana dimana Inggris menyatakan akan meninggalkan/keluar dari Uni Eropa atau tidak sehingga diadakan pengambilan suara (referendum) yang dilakukan oleh para warga negara Inggris dan 18 warga negara Commonwealth.
Brexit adalah suatu agenda politik yang penting dan dapat memberi dampak terhadap pasar keuangan Eropa nantinya. Pada Januari David Cameron berusaha membuat kesepakatan dengan para pemimpin Uni Eropa untuk mengubah kedudukan keanggotaan Inggris di Organisasi tersebut. Dia mengatkan bahwa kesepakatan yang adil adalah jika ingin Inggris tetap tergabung didalam Uni Eropa maka Inggris harus mendapatkan status “khusus” dari 28 negara anggota lainnya. Dimana hal tersebut akan membuat hak suara Inggris dipertimbangkan oleh negara anggota lainnya, seperti tingkat imigrasi yang tinggi dan menyerahkan Inggris untuk mengontrol perkembangan usahanya sendiri dalam segala aspek.
Para analis dan ekonom sedikit menyindir dari isi kesepakatan tersebut, dimana kesepakatan itu akan membuat perbedaan yang tidak lebih baik dari apa yang telah Cameron janjikan yaitu referendum.
Poin utama dalam kesepakatan tersebut diantaranya :
- Pembayaran Kesejahteraan Imigran : Cameron menyatakan akan memotong nilai keuntungan dari para pekerja yang berasal dari Uni Eropa saat mereka mendapatkan pekerjaan di Inggris dan dapat menghentikan jumlah orang yang datang di Inggris dalam jumlah besar. Para pendatang baru tidak akan mendapatkan klaim kredit pajak dan tunjangan kesejahteraan lainnya.
- Mempertahankan Poundsterling : Cameron mengatakan bahwa Inggris tidak akan bergabung dengan Euro. Dia juga menjamin bahwa negara-negara Eropa lainnya tidak akan mendiskriminasi Inggris karena menggunakan mata uang yang berbeda. Semua mata uang British yang mengalami Bail Out dari negara Eropa yang memiliki masalah akan segera diganti dengan mata uang lain.
- Tunjangan Anak : Para buruh Imigran masih dapat memberikan tunjangan anak ke negara asalnya, dimana biaya tunjangan diambil dari patokan biaya hidup dari negara asal, bukan dari Inggris.
- Industri London : Perlindungan bagi industri jasa keuangan di Inggris yang berpusat di London secara penuh dikontrol oleh Inggris sendiri, sehingga Eropa tidak perlu ikut campur terhadap segala urusan keuangan yang terjadi di Inggris.
- Menjalankan usaha Sendiri : Untuk pertama kalinya komitment bahwa Inggris bukan negara serikat dengan negara-negara anggota Eropa lainnya. Cameroon ingin menerbitkan peraturan yang menjamin tidak akan adanya campur tangan dari luar Inggris terhadap setiap usaha yang dilakukannya. Sehingga Inggris mampu menjalankan setiap usaha mereka sendiri.
Setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945, Inggris menolak untuk bergabung dengan lembaga baru bentukan sejumlah negara Eropa. Lembaga ini mendorong pada kerja sama dan hubungan damai. Inggris lebih tertarik untuk fokus pada sektor perdagangan dan investasi dengan sejumlah mantan koloninya, seperti AS, India, Kanada, dan Australia.
Pada 1960-an, Inggris pun berubah pikiran. Britania Raya akhirnya memutuskan bahwa akan lebih baik jika bergabung dengan Komunitas Ekonomi Eropa (EEC), kelak menjadi UE. Namun keinginan Inggris itu mendapat penolakan dari sejumlah negara Eropa, khususnya Prancis.
Pinangan Inggris untuk bergabung dengan EEC ditolak pada 1961. Presiden Prancis ketika itu, Charles de Gaulle, takut Inggris akan menjadi kuda troya--musuh di dalam selimut--bagi pengaruh AS.
Setelah de Gaulle lengser dan digantikan Felix Gouin, tepatnya pada 1967, Inggris kembali melamar menjadi anggota UE. Kali ini permohonan itu diterima dan Britania Raya resmi bergabung dengan zona perdagangan bebas UE pada 1973. Setelah itu EEC berganti nama menjadi Masyarakat Eropa dan terakhir menjadi UE.
Saat ini Uni Eropa tidak hanya berkutat pada sektor perdagangan, tetapi juga hak asasi manusia dan kebijakan luar negeri terkait dengan hukum lingkungan. Sejumlah organ penting UE antara lain Parlemen UE, Komisi UE, Mahkamah UE, dan Bank Sentral UE.
Inggris Raya telah memutuskan untuk keluar dari pakta ekonomi Uni Eropa melalui hasil referendum.
Hasil pemungutan suara yang dilakukan pada Kamis (23/6/2016) menyatakan kemenangan bagi masyarakat yang menginginkan ke luar dari Uni Eropa.
Sebanyak 52 persen rakyat Inggris Raya mendukung untuk keluar dari Uni Eropa, dan 48 persen rakyat menginginkan negara “Elizabeth” tersebut untuk bertahan.
Dilansir dari Time, Jumat (24/6/2016), terdapat tiga alasan utama mengapa warga Inggris menginginkan cerai dari organisasi tersebut. Pertama, mereka yang menginginkan Brexit terjadi percaya bahwa jangkauan kekuasaan UE begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris. Kedua, kelompok pro-Brexit merasa terganggu dengan aturan yang ditetapkan di Brussels, markas UE, di mana mereka meyakini hal itu mencegah bisnis beroperasi secara efisien. Isu migran adalah alasan ketiga sekaligus utama yang memicu perdebatan Brexit 'memanas'. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu prinsip kunci dari UE adalah pergerakan bebas setiap warganya. Ini berarti warga Inggris dapat bekerja dan hidup di negara mana saja yang tergabung dalam UE, begitu juga sebaliknya. Terdapat sekitar 3 juta warga UE lainnya yang hidup di Inggris, sementara terdapat 1,2 juta warga Inggris yang tersebar di sejumlah negara UE. Briton, sebutan untuk warga Inggris, menyalahkan para migran terkait dengan sejumlah isu seperti pengangguran, upah rendah, dan rusaknya sistem pendidikan serta kesehatan bahkan kemacetan lalu lintas.
Dampak Brexit
1. Dampak Kepada Perekonomian Dunia
Inggris adalah salah satu mitra utama Amerika dalam perdagangan, sehingga perubahan monumental ini akan menimbulkan ketidakpastian dalam masa depan hubungan itu, terutama jika Britania Raya mengalami resesi. IMF memperingatkan bahwa Brexit dapat menurunkan output ekonomi banyak negara, termasuk AS hingga mencapai setengah persen. Akibatnya, nilai euro atau poundsterling akan terpuruk di bawah dolar. Ini akan menjadi pukulan kuat bagi eksportir AS. Sementara itu, di luar hubungan ekonomi, Negeri Paman Sam juga patut khawatir dengan ketidakstabilan politik pasca-Brexit terjadi. Tidak menutup kemungkinan, sejumlah negara lain akan mengikuti jejak Inggris meninggalkan blok perdagangan terbesar di dunia, melemahkan Eropa secara keseluruhan termasuk mengancam masa depan NATO. Sementara di sisi lain, bayang-bayang Rusia mengintai.
2. Dampak Sektor Real Estate di Inggris
Jones Lang Lasalle (JLL) melihat bahwa "British Exit" atau Brexit ini memberikan dampak bagi pasar properti Inggris Raya secara keseluruhan.
Layaknya perubahan besar dalam hal pedagangan dan undang-undang, Brexit menciptakan ketidakpastian ekonomi dan pasar real estat di Inggris Raya.
"Dalam jangka pendek kita bisa melihat lemahnya permintaan okupansi, kemudian pasokan pasar sewa akan terbatas," kata Direktur Utama JLL Inggris Raya Chris Ireland, dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (27/7/2016).
Sementara itu, sentimen investor juga akan terus memburuk sejalan dengan minimnya arus modal dalam jangka pendek dan menengah.
Dampak berikutnya, lanjut Chris adalah adanya kemungkinan penyesuaian modal negatif selama dua tahun ke depan sebesar -10 persen dengan yield yang terus bergerak di angka 50 miliar poundsterling.
Imbas ini bakal sangat terasa di London karena menurut Chris ibu kota Inggris ini adalah yang paling rentan terhadap koreksi terhadap harga dan basis okupansi multinasional mereka.
"Sedangkan pasar perumahan diharapkan untuk tetap bertahan meskipun suku bunga yang lebih rendah dengan koreksi lebih ringan," sebut Chris.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Penelitian Residensial JLL Adam Challis melihat bahwa pasar perumahan London akan merasakan dampak paling dalam dari peristiwa "Brexit."
"Hubungan perdagangan antara London dan negara-negara Eropa memberikan tanda bahwa implikasi setelah "Brexit" lebih kompleks dan ini akan memperburuk ketidakpastian bagi pemilik rumah di London," jelasnya. Namun, menurut Adam, secara paradoks justru melihat ini sebagai peluang pasar dengan jangka waktu yang panjang. Pasalnya pembeli terutama dari internasional bisa mendapatkan keuntungan dari arbitrase mata uang yang telah dibuka pada kondisi Poundsterling melemah. Untuk itu, Chris menyebutkan bahwa nantinya sektor jual beli properti di Inggris Raya akan banyak bergantung pada kecepatan negosiasi, kondisi politik, dan arah yang jelas serta apa yang menguntungkan.
3. Dampak Pada Liga Premiere Inggris
Jika Britania Raya keluar dari Uni Eropa, pertanyaan besarnya adalah "Apa saja dampak yang akan terjadi?" Kebijakan ini tentunya akan berpengaruh besar terhadap tatanan yang sudah ada sebelumnya, tak terkecuali dunia sepakbola. Liga Primer Inggris sebagai wajah utama sepakbola Britania Raya tentu akan terkena pengaruh yang besar dari keputusan ini. Pengaruh yang paling besar adalah terkait izin kerja dan perekrutan pemain di usia muda. Terkait izin kerja atau work permit, memang ada peraturan ganda dari FA (Federasi Sepakbola Inggris) soal penggunaan pemain Non-EU sebelumnya. Namun, jika Britania Raya bukan lagi anggota Uni Eropa, maka aturan tersebut bukan lagi menyasar "Non-EU" melainkan "Non-Britania Raya". Menurut Telegraph, akan ada lebih dari 100 pemain yang terancam tak bisa bermain di Liga Primer Inggris.
Dalam aturan FA tertulis bahwa pemain Non-EU yang bermain di Liga Inggris harus memiliki jumlah penampilan tertentu di timnas di level senior. Jumlah penampilan ini tergantung pada peringkat FIFA/UEFA negara masing-masing. Nama-nama yang terselamatkan dari aturan ini adalah N`Golo Kante, Laurent Koscielny, Robert Huth, Emre Can, Alberto Moreno, Jesus Navas, Bacary Sagna, David de Gea, Anthony Martial, sampai Dimitri Payet. Hal ini disebabkan karena mereka berasal dari negara anggota Uni Eropa tetapi belum mempunyai caps yang cukup bersama timnas sesuai dengan syarat FA. Dengan keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa, maka aturan FA tersebut berubah dari pemain "Non-EU" menjadi pemain "Non-Britania Raya", yang artinya nama-nama di atas tidak bisa meruput di Liga Primer Inggris. Hal ini karena aturan FA berkaitan langsung dengan izin kerja yang dikeluarkan oleh Pemerintah Britania Raya. Kalau hal ini terjadi, setidaknya Stoke City, Watford, dan Liverpool, akan kehilangan masing-masing sembilan pemain karena tidak memenuhi kualifikasi.
(Pemain Non-Britania yang saat ini telah bermain di Liga Primer Inggris, tidak akan terusir karena mereka sudah punya izin kerja saat aturan ini belum berubah). Pemain yang tidak mendapatkan izin kerja, tidak bisa bermain di Liga Primer Inggris. Bahkan, kalau ada aturan batasan soal jumlah pemain Non-Britania, sejumlah pemain bisa saja harus angkat kaki. "Klub akan dibatasi dalam mendatangkan pemain top dari negara yang memiliki peringkat tinggi di Uni Eropa," ujar Dr. Babatunde Buraimo, dosen senior ekonomi olahraga di Universitas Liverpool. "Jika pemain-pemain seperti itu dibatasi, maka harga mereka akan melonjak, termasuk nilai transfer dan gaji, dalam merekrut pemain Uni Eropa. Hal ini akan membuat kesulitan mendatangkan pemain-pemain bertalenta." Apa yang dikatakan Dr. Babatunde bisa jadi wajar, karena tak sedikit pemain yang belum memiliki caps timnas, memiliki kemampuan berkelas. Contohnya, Kante (Leicester City) dan Payet (West Ham United) yang baru dipanggil ke timnas Prancis karena bermain apik di liga bersama kesebelasannya. Namun, para pemain Non-Britania yang tidak memenuhi syarat FA bisa saja mendapatkan izin kerja yakni lewat peraturan baru soal "investor visa". Peraturan ini menyebutkan bahwa pemain bisa saja bermain di tanah Inggris meskipun tidak sesuai dengan kriteria, andai ada penjamin yang bisa memastikan bahwa sang pemain bisa memiliki nilai investasi seharga satu juta pounds atau lebih. Dan penjamin bisa memastikan bahwa nantinya sang pemain akan berkontribusi besar terhadap perkembangan olahraga secara keseluruhan.
Nilai satu juta pounds memang rasanya kecil ketimbang transfer besar-besaran yang sering dilakukan oleh klub-klub Liga Inggris. Namun nilai ini menjadi besar apabila berurusan dengan pemain muda. Tentu sebuah risiko besar karena klub harus menjamin visa serta uang sebesar satu juta pounds untuk seorang pemain muda yang belum tentu nantinya akan bermain bagus.
Juga transfer pemain muda yang masuk dalam regulasi FIFA artikel 19 terkait transfer pemain menyebutkan bahwa "Perpindahan pemain muda berusia 16 hingga 18 tahun hanya boleh terjadi antara anggota Uni Eropa". Maka dengan Brexit, klub-klub Liga Primer Inggris tentu tidak bisa mengamankan bakat-bakat muda dari negara lain di luar Britania Raya, yang akan menjadi kerugian besar buat Arsene Wenger seluruh kesebelasan Premier League.
Tetapi karena Liga Primer Inggris merupakan sesuatu yang punya nilai jual tinggi, sangat menguntungkan, dan menjadi sumber pendapatan banyak orang selama puluhan tahun, maka selalu ada celah untuk mengakali peraturan seketat apapun. Di masa depan, bisa saja muncul aturan khusus terkait pemain Non-Britania setelah Brexit.
Apabila dikaji kembali, dengan referendum ini bukankah berarti Britania Raya bisa melaksanakan kritikan yang terus mendera terkait “Eugenika” atau kemurnian bakat-bakat sepakbola Britania Raya? Kritik muncul karena Liga Primer Inggris makin hari justru tidak membuat orang-orang Britania Raya menjadi raja di rumah sendiri. Mulai dari pemain hingga pelatih lebih banyak orang luar Britania yang meraih kesuksesan. Maka ke depannya Inggris dan negara di Britania Raya lain bisa lebih leluasa untuk mengembangkan bakat-bakat sepakbola mereka. Agak terkesan fasis memang.
Terkait pertanyaan apakah dengan keluar dari Uni Eropa maka Britania Raya akan keluar juga dari UEFA, jawabanya tentu tidak. Bukan berarti keluar dari Uni Eropa selaku organisasi regional yang lebih bersifat politik dan ekonomi, Britania Raya akan secara otomatis keluar dari UEFA selaku organisasi regional Eropa yang mengurusi dunia sepakbola. Secara teori hukum dan organisasi internasional, setiap organisasi memiliki peraturan formal dan otonomi tersendiri. Maka meskipun sudah keluar dari Uni Eropa, baik Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara tetap termasuk sebagai bagian dari UEFA, karena rezim dan otoritas UEFA masih mengategorikan Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara sebagai anggota UEFA. Hal ini bisa saja berubah apabila UEFA memiliki keputusan tertentu terkait keanggotan mereka seperti Ukraina dan Turki yang bukan anggota Uni Eropa tetapi merupakan anggota dari UEFA. Karena meskipun Britania Raya keluar dari Uni Eropa, negara mereka masih tetap ada di tempat yang sama di benua Eropa yang kita kenal seperti di peta.
Para direktur lebih dari separuh perusahaan terbesar Inggris mendorong rakyat Inggris untuk memilih keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa, dalam referendum . Sekitar 1.300 bisnis eksekutif, termasuk dari 51 perusahaan terbesar dalam pasar bursa London, menandatangani surat yang disampaikan kepada koran The Times. Dinyatakan, Brexit akan menyebabkan goncangan bagi perusahaan, merosotnya perdagangan dengan Eropa dan berkurangnya lapangan kerja. Demikian dinyatakan kepala perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 1,75 juta orang.
Jika Inggris Raya keluar dari Uni Eropa, ini juga bisa jadi pukulan besar bagi sektor industri otomotif Jerman. Demikian Manuel Andersch dari bank Bayern LB yang dimiliki pemerintah Bayern. Ia menambahkan, perusahaan BMW yang juga bermarkas di ibukota Bayern, München akan menderita paling besar. BMW tidak hanya menjual mobil di Inggris lebih banyak daripada saingannya, Audi dan Mercedes, tetapi juga mengoperasikan empat pabrik di Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar