Senin, 11 Juli 2016

UANG PANAIK

BUDAYA UANG PANAIK
Bismillahirrahmanirrahim...
Suatu budaya merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki suatu daerah. Umumnya kebudayaan tersebut merupakan harga diri dan kehormatan bagi masyarakat setempat dan mereka akan berusaha menjaga agar kebanggaan tersebut tidaklah hilang atau punah..nah bagaimana jika budaya yang selama ini dijunjung tinggi dari nenek moyang sampai generasi muda sekarang malah memberatkan dan tidak sejalan syariat Islam yang seharusnya menjadi panutan dalam keseharian kita..nah topik ini lah yang admin coba angkat sekiranya kita sebagai generasi muda berpikir tentang maslahat/mudharat (kebaikan/keburukan) tentang apa yg kita jalankan. Janganlah kita sekedar mengikuti tradisi yang pada dasarnya kita tidak mengetahui esensinya apa.
Pernah kah teman2 mndengar ttg UANG PANAIK????
Bagi yang berasal dari suku bugis makassar tentunya tidak asing lagi dengan kata ini...nah untuk mngetahui lebih jelasnya lagi, kita kaji dulu asal dari budaya yang satu ini.
1. Sejarah Uang Panaik dalam Perkawinan Adat Bugis Makasar
Adat pemberian uang panaik diadopsi dari adat perkawinan suku bugis asli. Uang panaik bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panaik tersebut.
Fungsi uang panaik yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena uang panaik yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan uang panaik merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan pernikahan.
2. Perbedaan Mahar dan Uang Panaik
Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa dan dui’ menre’ (Bugis) atau uang panaik/doi balanja (Makassar). Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan MENURUT AJARAN ISLAM. Mahar dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya sendiri. Sedangkan dui’ menre’ atau uang panaik/doi balanja adalah “uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Jadi uang panaik dipegang oleh orang tua istri dan digunakan untuk membiayai semua kebutuhan jalannya resepsi pernikahan.
TETAPI, SEBAGIAN ORANG BUGIS MAKASSAR MEMANDANG BAHWA NILAI KEWAJIBAN DALAM ADAT LEBIH TINGGI DARIPADA NILAI KEWAJIBAN DALAM SYARIAT ISLAM. Sejatinya sebagai salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara, seharusnya mereka lebih mementingkan nilai kewajiban syariat Islam daripada kewajiban menurut adat. Kewajiban mahar dalam syariat Islam merupakan syarat sah dalam perkawinan, sedangkan kewajiban memberikan uang panaik menurut adat, terutama dalam hal penentuan jumlah uang panaik, merupakan konstruksi dari masyarakat itu sendiri.
3. Jumlah Uang Panaik
Uang panaik yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak daripada mahar. Adapun kisaran jumlah uang panaik dimulai dari 25 juta, 30, 50 dan bahkan ratusan juta rupiah. Hal ini dapat dilihat ketika proses negosiasi yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dalam menentukan kesanggupan pihak laki-laki untuk membayar sejumlah uang panaik yang telah dipatok oleh pihak keluarga perempuan. Terkadang karena tingginya uang panaik yang dipatok oleh pihak keluarga calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagal menikah karena ketidakmampuannya memenuhi “uang panaik” yang dipatok, sementara pemuda dan si gadis telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari sinilah terkadang muncul apa yang disebut silariang atau kawin lari (Nau’udzubillahi min dzalik).
4. Tolak Ukur Tingginya Uang Panaik
Tinggi rendahnya Uang panaik merupakan bahasan yang paling mendapatkan perhatian dalam perkawinan Bugis Makassar. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa itu akan menjadi buah bibir bagi para tamu undangan. Adapun penyebab tingginya jumlah uang panaik tersebut disebabkan karena beberapa faktor diantaranya:
a.Status ekonomi keluarga calon istri
b.Jenjang pendidikan calon istri
c.Kondisi fisik calon istri
5. Besar Mudharat daripada Maslahat
Tingginya jumlah uang panaik memang beberapa mendatangkan maslahat (manfaat) karena dapat memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam mempersiapkan diri menghadapi pernikahan. Selain itu, ada pula anggapan bahwa tingginya uang panaik dapat mengurangi tingkat perceraian dalam rumah tangga karena tentu seorang suami akan berpikir sepuluh kali untuk menikah lagi dengan pertimbangan jumlah uang panaik yang sangat tinggi. Mungkin kedua alasan tersebut memang benar. Tapi mari kita lihat dari sisi mudharatnya juga.
Pada kenyataannya banyak kita temukan pemuda yang gagal menikah akibat ketidakmampuannya memenuhi jumlah uang panaik yang dipatok oleh keluarga perempuan. Sementara si pemuda dan si gadis telah menjalin hubungan yang serius. Persoalannya tidak hanya sampai disitu, pemuda yang lamarannya ditolak tentu akan merasa malu dan harga dirinya direndahkan. Dari sihilah terkadang terjadi ‘kawin lari’. Kedua orang tua si gadis pun akan merasa dipermalukan dan merasa harga dirinya direndahkan. Konsekuensi lain dari tingginya jumlah uang panaik adalah dapat menyebabkan terbukanya pintu-pintu kemaksiatan, misalnya si gadis hamil diluar nikah/zina (maaf) yang membuat orang tua si gadis mau atau tidak harus menyetujui pernikahan mereka, semakin banyaknya perawan tua yang berujung pada terjadinya fitnah yang tentunya dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.
Nahhh teman-teman...setelah kita menelaah tentang budaya Uang panaik ini..muncullah sebuah pertanyaan yang menarik namun patut untuk kita renungkan. ‘MASIH PERLUKAH BUDAYA UANG PANAIK DIPERTAHANKAN??’

Celotehan dari sobat:
-Al Hidayatullah (Alumni Biologi UNHAS, 2004. Sekarang menempuh pendidikan S2 di IPB):
Uang panaik sebenarnya di kalangan org bugis-makassar sdh menjadi adat dan kebiasaan dari dulu. Terkenal di luar makasar terutama di luar sulawesi kalau menikah dgn org makassar (perempuan) agak mahal biayanya. Hal ini mmg memberatkan pihak laki2 apalagi kalau pihak perempuan adalah turunan bangsawan (Puang, Andi, dst). Hanya saja pada bberapa kalangan org bugis-mkssar menganggapnya sbg tanda kseriusan dari pihak laki2 jika mmg betul2 ingin meminang anak/adik/kmanakan mereka, maka dgn uang panaik yg jumlahnya ckup "Wah" menjadi tanda kseriusan itu. Namun demikian, pd hakikatnya uang panaik yg byk tsb ttap mjd kendala bg pihak laki2. Kalau kt kembalikan pd ajaran islam, maka sharusnya pihak wanita mempermudah pinangan tsb jik mmg setuju dgn pihak laki2 sebab dalam sebuah hadist dikatakan bahwa sebaik2 wanita adlah yg mdah dinikahi. Intinya uang panaik dlm adat bugis-mkssar adalah simbol keseriusan pihak laki2 dalm meminang wanita. "kalau mmng mau, jgn setengah2”.
-St. Verawati Yusuf (Alumni Biologi UNHAS,2007)
Bagi sebagian masyarakat, uang panaik adalah suatu bentuk harga diri keluarga calon mempelai wanita karena bagi mereka ukuran kedudukan/derajat keluarga terletak pada seberapa besar uang panaik yang diberikan. Beberapa masyarakat meyakini bahwa pernikahan adalah perhelatan akbar yang dialami manusia sekali dalam seumur hidupnya, oleh karena itu mereka menganggap pernikahan harus diselenggerakan dengan sebaik-baiknya. Namun terlepas dari itu, sebagai seorang muslim yang sekaligus hidup dalam budaya adat yang masih kental, kita harus senantiasa mengetahui bahwa budaya boleh dijalankan selama tidak bertentangan dengan syariat. Nah untuk masalah uang panaik, bisa menjadi hal yang bertentangan dengan syariat ketika hal ini dilakukan terlalu berlebihan hingga menjadikan pernikahan sangat sulit untuk ditunaikan. Hal yang kadang luput perhatian adalah tentang bagaimana kualitas agama dari lelaki yang akan meminang anak perempuannya. Terkadang ukuran kualitas didasarkan hanya pada kemampuan finansial dan seberapa besar ia sanggup membayarkan uang panaik. Tapi jika seorang lelaki sanggup membayarkan uang panaik dalam jumlah yang besar dan tidak menyusahkannya maka dalam hal ini boleh2 saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar