Rabu, 27 Juli 2016

SILARIANG

Silariang secara bahasa dapat diartikan sebagai kegiatan (berlari) yang dilakukan bersama orang lain. Secara istilah silariang dapat diartikan perbuatan menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. Singkatnya dapat kita katakan kawin lari. Kawin lari sendiri sudah merupakan hal umum di Indonesia atau bahkan di dunia. Tetapi untuk istilah silariang hanya digunakan di daerah sulawesi selatan dan sekitarnya.Kata silariang untuk masyarakat suku bugismakassar sangat identik dengan siri na pacce dan satu lagi na badik.
Di Sulawesi Selatan sejak dari dulu hingga kini, kasus silariang kawin lari) masih sering terjadi. Walaupun sanksinya berada di ujung badik bagi sipelaku silariang, namun masyarakat Sulsel khususnya bagi suku Makassar, namun sanksi itu, tak dihiraukan. Selama cinta  bersemi bagi kedua belah pihak, sanksi maupun akan tetap dihadapi.
Dalam kasus silariang ini tidak jarang, bagi si pelaku dihadang oleh Tumasiri’ (dari pihak keluarga perempuan yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau bahkan pembunuhan bagi sipelaku silariang yang disebut Tumanyala atau keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’.Bagi suku Bugis Makassar, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut masalah siiri, dan disisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana. Kedua hukum yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus dilariang saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum adat  mengatakan, membunuh  si pelaku silariang dengan alasan siiri’ tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia  dianggap sebagai pahlawan yang  membela siri’nya. Disisi lain, dalam hukum pidana , tidak menerima alasan  kalau ada terjadi kasus pembunuhan termasuk  alasan siri’, dan pelakuya bisa dikenakan  pasal pembunuhan atau penganiiayaan dalam KUHP. 
Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara  sepasang laki-laki dan perempuan dan keduanya sepakat untuk melakukan kawin lari. Jadi disini yang dimaksud laki-laki dan perempuan, tidak terbatas pada kaum pemuda dan pemudi yang belum beristri, tetapi juga  berlaku bagi   laki-laki dan perempuan yang sudah kawin atau menikah. Apakah mereka kawin lari sesama  anak muda atau kedunya telah menikah atau salah satunya telah beristri atau bersuami.
Selain itu,  ada juga satu jenis kawin yang dinamakan Nilariang.  Jika kasus Silariang ini dilakukan atas kata sepakat bagi kedua pelaku silariang untuk lari bersama untuk  kawin, maka  dalam kasus Nilariang ini, kehendak untuk kawin lari, datangnya dari pihak laki-laki.  Kalau kehendak kawin lari datangnya dari pihak laki-laki, maka itu berarti,  perempuan yang akan dilarikan itu  dilakukan secara paksa atau tipu muslihat.
Jenis lainnya dari   silariang adalah, ada yang dinamakan kawin Nilari atau Erang Kale. Pada kasus kawin  Erang kale atau Nilari ini  datangnya dari pihak perempuan. Perempuan itu lari ke rumah imam, lalu menunjuk  laki-laki yang pernah menggaulinya.  Dengan demikian, laki-laki yang ditunjuk itu harus bertanggung jawab atas perbutannya untuk mengawini perempuan yang menunjuknya. Biasanya , kalau tidak ada laki-laki yang mau bertanggung jawab, maka biasanya, ditunjuk  laki-laki yang mau secara sukarela mengawini  perempuan tersebut. Perkawinan seperti ini disebut Pattongkok siiri’ (penutup malu).
Ada juga  kasus yang dilakukan oleh  gadis atau perempun yang sudah beristri dengan jalan lari ke rumah imam tanpa  ada laki-laki yang ditunjuk untuk mengwininya. Wanita itu  mungkin sudah hamil, tapi ia tidak tahu laki-laki mana yang ditunjuk  bertanggung jawab. Disisi lain, pihak keluarganya juga mempertanyakan kehamilannya, dan siapa laki-laki yang menghamilinya. Untuk menyelamatkan jiwa perempuan itu, biasanya   ia lari ke rumah imam untuk minta perlindungan dan mencarikan solusinya. Biasanya, pada kasus ini, ditunjuk laki-laki mana saja yang mau menikahinya, setelah itu apakah mereka meneruskan parkawinan atau cerai, yang penting sudah ada   laki-laki yang mau bertannggung jawab. Peristiwa semacam ini disebut Annyala Kalotoro yakni perempuan  kawin lari tanpa  ada laki-laki yang bertanggung jawab.
Ada pula jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena terkait dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat, misalnya antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya atau sesama saudara. Perkawinan seperti ini oleh orang Makassar disebut Salimara.
Untuk kasus silriang, nilariang atau Erang Kale masih ada jalan keluarnya, yakni setelah mereka dinikahkan, maka  persoalan sebagai suami istri sudah selesai. Tetapi pada kasus Salimara,  merupakan kasus yang tak berujung. Keduanya sulit dikawinkan, karena terikat hubungan darah yang terlalu dekat. Baik hukum adat ataupun agama tak dapat mempersatukannya. Bahkan dalam hukum agama termasuk dosa yang sangat besar.
Pada kasus Salimara ini, pada zaman dulu, biasanya kedua pelaku Salimara dikenakan hukuman niladung. Hukuman Niladung adalah  kedua pelaku itu diikat, lalu digantung batu sebagai pemberat, lalu keduanya ditenggelamkan ke tengah  laut atau sungai hingga mati.Ada kepercayaan dari masyarakat Bugis Makassar tentang adanya kasus ini. Bila ada kasus Salimara terjadi di sebuah kampung, maka itu menurut kepercayaan masyarakat, nasib sial yang akan melanda  kampungnya dan seluruh warga dalam kampung itu akan merasakan akibatnya, misalnya  tanaman rusak, ikan pada menghilang di kali, hewan piaraan mati dan penyakit akan  melanda masyarakat. Dari pada seluruh masyarakat merasakan akibatnya, itulah sebabnya, masyarakat setempat harus melenyapkan kedua pelaku salimara tersebut dengan jalan  Niladung.
Baik kasus Silariang, Nilariang,  Erang Kale atau Nil;ari, Annyala Kalotooro  dan Salimara, semuanya itu berkibat siri’ (malu) bagi pihak keluarga  perempuan. Siri’ disini bukan hanya diartikan sebagai malu-malu, tetapi  lebih mendalam lagi, siri’ merupakan harga diri, kehormatan atau martabat sebagai seorang manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah SWT.
Menurut Budayawan Makassar, H,. Abd Haris Dg Ngasa, bahwa arti Siri’ itu merupakan akronim dari kata Sikedde Rinring (sedikit atau tipis dinding). Ini berarti martabat atau sifat antara   manusia dan binatang  dinding atau pembatasnya sangat tipis. Itulah sebabnya, ada orang yang wujudnya seperti manusia, tapi perbuatannya seperti binatang. Dikatakan perbuatannya seperti binatang, karena mereka   melakuklan hubungan badan tanpa nikah sama dengan binatang. Kata orang Batak Amanimanuk (kawin seperti ayam). Jadi disini, dinding pembatas antara sifat manusia dan binatang sangat tipis.Dengan alasan Siri’ inilah, mak kasus membela harga diri bagi suku Makassar tidak bisa lagi ditolerir. Dalam hukum adat mengharuskan pada seseorang yang merasa dipermalukan (dari pihak keluarga perempuan) untuk menegakkan siiri’ keluargnya. Dan biasanya berakhir dengan  pembunuhan atau penganiayaan.
Keluarga dari pihak perempuan, setelah mendengar anaknya mel;akukan  silariang,  mereka akan menemui   kaluarganya untuk Appala Siri (minta bantuan pada keluarga untuk menegakkan siiri’nya). Pihak keluarga yang tahu bahwa  anak kemenakannya itu   silariang maka mereka  siap-siap mengambil tindakan, bilamana di suatu saat atau di suatu tempat ketemu orang yang melarikan anaknya, mereka   bisa menindakinya, baik dengan cara mengusir,  memukul atau tidak sedikit diantara pelaku silariang ini menemui ajalnya di ujung badik. Sebaliknya bagi pelaku Silariang, mereka juga melakukan kawin Silariang, karena  beberapa alasan, antara lain, karena  pinangannya ditolak, mungkin ditolak karena  perbedaan strata sosial,  karena miskin atau karena punya  istri atau alasan lainnya. Mereka  melakukan kawin silariang dengan tekad yang bulat, yakni muntuk membentuk keluarga. Walaupun  mereka tahu, bahwa ini mengandung resiko yang sangat berat, yakni bisa saja kedua-duanya  celaka mati di ujung badik dari tangan pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’.Walau rintangan  seberat itu menghadang, tapi bagi pelaku silariang yang disebut Tumannyala, tak gentar menghadapinya., apapun resikonya, termasuk  maut.
Para pelaku silariang, khusunya  laki-laki, biasanya ia selalu siap sedia senjata tajam dengan menyelipkan badik di pinggangnya, kemanapun ia pergi. Ini dimaksud, bila mana suatu saat mendapat tantangan  maka ia melakukan pembelaan diri. Walaupun sanksi yang ditetapkan pada pelaku Silariang atau Tumannyala ini sangat berat, akan tetapi  Hukum Adat Makassar juga memberikan batasan pada Tumasiri’ untuk mengambil tindakan pada Tumannyalanya. Para Tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan sembarangan. Mereka harus mengetahui di tempat mana yang boleh atau tidak boleh melakukan tindakan.
Dalam hukum Adat Makasar, batasan bagi Tumasiri’  untuk memngambil tindakan dibatasi  dalam hal-hal: Bilamana Tumasiiri’ memburu Tumannyala, kemudian Tumannyala melemparkan apa yang melekat di badannya, misalmnya songkok atau baju masuk dalam pekarangan orang lain,  atau kalau berada di pematang sawah di buruh kemudian menghindar turun ke sawah, maka itu berarti  Tumannyala dianggap  sudah minta perlindungan. Dan kalau Tumannyala sudah minta perlindungan seperti itu, maka Tumasiri’ tak boleh lagi melakukan tindakan pada Tumannyalanya. Dalam Hukum Internasional, hak hak minta perlindungan disebut hak suaka atau hak asyil.
Antara Tumannyala dan Tumasiri’ ini bagaikan kucing dan anjing. Tak bisa akur  selama dalam proses silriang. Akan tetapi, bila pelaku Silariang ini, meminta rela  kepada  kedua orang tua perempuan  dan disetujui, maka selanjutnya dilakukan acara  damai yang disebut Abbaji. Bilamana sudah  ada acara Abbaji ini, maka  anak yang anak atau kedua pelaku silariang ini, tadinya dianggap musuh bersama dari pihak keluarga perempuan, kemudian, berbalik seratus persen. Kedua pelaku silariang itu   sudah dianggap anak. Bila sudah ada acara Abbaji, maka tidak ada lagi namanya Tumasiri’ dan Tumannyala, sanksi adatpun tidak bisa diperlakukan..Dalam Hukum pidana (KUHP) kalau menyangkut masalah nyawa seseorang, terutama menyangkut masalah penganiayaan atau pembunuhan, maka   tidak ada  satu alasanpun untuk melakukannya, termasuk alasan siri’ mereka  bisa dikenakan hukuman pidana penjara.
Bagi para Tumasiri’. Bila sudah mendengar berita, bahwa anaknya atau keponakan  atau sanak keluarganya melakukan silariang, mereka dituntut oleh hukum Adat untuk menegakkan siri’nya. Sebab kalau tidak bertindak, mereka dicap oleh masyarakat sebagai ballorang (alias penakut). Tertapi mereka harus berani, tampil sebagai pembela martabat keluarga. Dalam  ungkapan  orang Makassar ada yang disebut Eja Tonpi sen Na Doang (nanti merah baru terbukti udang). Maksudnya,  penegakan siri’ itu memang  banyak resiko, terutama membunuh dan  akhirnya masuk penjara. Tetapi resiko seperti itu, tidak terpikirkan dulu. Nanti kalau sudah berhasil menegkkan siri’ barulah terbuklti bahwa udang itu kalau sudah dimasak merah.
Kemudian ada pula istilah yang mengatakan, bahwa orang Makassar itu kalau menegakkan siri,  luka tusuk senjata tajam itu,  bukan berada di belakangnya, tetapi  harus ada dimuka. Kalau  luka tusuk berada di belakang badan ,itu berarti pengecut atau penakut, tapi kalau  luka ada di bagian depannya, itu berarti pemberani.  Dalam ungkapan orang Makassar disebutkan Tiai Mangkasara punna Bokona Loko’ (bukan orang Makassar kalau bagian belakang badannya terluka).Inilah yang disebut Tubarani.Bagi Tumannyala (pelaku silariang), juga bertekad, resiko  apapun yang menimpa dirinya, harus mereka jalani, termasuk maut demi  mendapatkan si buah hati belahan jantung. 
Mati itu urusan Tuhan,  tapi semangat untuk menyatukan dirinya dengan  gadis pelihannya tak bisa dibendung, walau itu maut sekalipun. Cinnaku Cinnana pakkekkepa pasisa’laki (Cintaku dan cintanya, hanya linggislah yang bisa memisahkannya). Begitu eratnya cinta kedua Tumannyala, sehingga mereka nekad kawin lari.Bagaimana dalam hukum pidana?. Pada kasus Silariang, tindak pidana yang banyak terjadi adalah, kasus pengniayaan  dan kasus pembunuhan.  Kadang Tumasiri’ bila menemukan Tumannyalanya di suatu tempat, misalnya di jalanan, mereka sering memburuh Tumannyalanya, dan bila Tumannyala tidak mendapat perlindungan, biasanya terjdi perkelahian. Kalau ada orang yang melerai,  mungkin nyawa salah satu pihak masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini dapat dikenakan pasal penganiayaan (351 KUHP), tapi kalau mereka membawa senjata tajam dan tidak ada yang melerainya, maka biasanya kasus ini berakhir dengan  maut atau pembunuhan, maka si pelaku dapat dikenakan pasal pembunuhan yakni pasal 340 KUHP untuk pembunuhan berencna dan pasal 338 tentang pembunuhan biasa.Selain itu, dalam kasus silarian, tentunya kedua belah pihak, baik Tumannyala maupun Tumasiri’  keduanya  selalu siap senjata tajam berupa badik yang terselip di pinggangnya. Ini juga  melanggar pasal dalam Undang-undang Darurat tahun 1957.
Kemudian pada kasus silariang, karena ini dilakukan atas kesepakatan  kedua belah pihak yang mau kawin lari, maka dalam KUHP tidak ada satu pasalpun yag melarang mereka untuk  kawin lari. Kecuali dalam agama, biasanya pada kasis Silariang ini, sebelumnya disertai dengan perzinahan, maka  kasus sin itu melanggar aturan agama Islam.Untuk kasus Nilariang, ini dapat  dikenakan pasal dalam KUHP, sebab  pihak perempun itu dipaksa untuk kawin dengan cara menculik atau tipu muslihat. Pihak laki-laki yang melakukan kawin Nilariang ini dapat dikenakan pasal penculikan atau  pasal penipuan.Dari aspek sosial, pada kasus silariang ini, merupakan  aib bagi keluarga kedua belah pihak, baik keluarga laki-laki lebih-lebih bagi keluarga perempuan yang merasa  sangat dipermalukan oleh ulah anaknya. Masyarakat  mencelh perbuatan ini dan mencapnya sebagai orang yang tak mampu mendidik anak-anaknya, serta menyalahi aturan adat dan agama.
Dikutip dari:http://zainuddinrosdiana.blogspot.co.uk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar