Selasa, 28 Februari 2017

Bagaimana Akuntansi menilai Pemain Sepakbola Sebagai Aset ?


Siapa yang tak mengenal olahraga paling mentereng sejagat ini. Yang kompetisinya selalu membawa atmosfer dan gengsi yang  tinggi, mulai dari setingkat sepakbola antar kampung (TarKam) sampai ke kasta tertinggi semacam piala dunia. Yang disukai dari bocah tahunan hingga bapak - bapak paruh baya, Ya sepakbola . Olahraga paling populer di dunia . Oleh karena kepopulerannya banyak berdiri klub - klub sepakbola mulai dari amatiran sampai klub - klub sepakbola profesional.
Di zaman modern seperti ini, orang-orang yang ada di dalam klub adalah orang-orang yang sadar akan nilai lebih sepakbola sebagai industri. Apalagi sebagaian besar klub sepakbola tingkat dunia adalah korporasi yang dimiliki oleh sebagian besar publik.Mereka sadar kalau setiap klub sepakbola (profesional) punya nilai jual.
Apapun harus dilakukan untuk menjaga bahkan meningkatkan nilai tersebut. Target juara di setiap kompetisi pada akhirnya tidak hanya berbicara soal penambahan trofi dan gelar. Menjadi juara berarti berhasil meningkatkan nama besar klub, menarik sponsor, meningkatkan nilai hak siar dan menerima penghasilan tambahan berupa uang hadiah. Serta patut diketahui bahwa penghasilan paling besar sebuah klub sepakbola berasal dari penjualan tiket pertandingan. Semakin populer timnya maka akan semakin menarik penonton yang masiv di setiap pertandingannya. Kepopuleran ini dapat di dapatkan melalui prestasi yang ciamik di setiap musimnya.

Kesadaran akan kebutuhan berprestasi itulah yang mendorong setiap klub membentuk tim yang hebat dengan memiliki pemain-pemain dengan kualitas mumpuni. Semakin hebat pemain yang dimiliki, maka semakin besar pula kemungkinan menjadi juara di sejumlah kompetisi selain tentunya kejeniusan sang pelatih dalam "meracik jamu" di lapangan hijau.
Seperti terdapat simbiosis mutualisme dalam klub sepakbola profesional, klub yang besar akan mengangkat nama pemainnya sedangkan pemain yang populer di sisi lain akan mengangkat nama tim yang di belanya.seperti bila Barcelona membeli pesepakbola dari Indonesia siapapun itu namanya akan melejit bagai roket, di sisi lain pun jika Timnas Garuda menaturalisasi pemain sekelas Cristiano Ronaldo  atau van persie nama timnas garuda tidak akan dipandang sebelah mata.

Klub besar membutuhkan pemain besar dan pemain besar membutuhkan biaya yang besar pula. Dalam dunia sepakbola, pemain bola adalah aset yang dapat diperjual belikan klub baik itu dengan kas atau dengan cara barter dan berbagai kesepakatannya atau sama sekali gratis (free transfer).

Menurut Financial Accounting Standards Boards (FSAB), aktiva adalah manfaat ekonomis masa datang yang cukup pasti yang diperoleh atau dikuasai bahkan dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu. Menurut The International Accounting Standard (IASC), aset dapat diartikan sebagai sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan sebagai hasil dari kejadian masa lalu dan dari mana keuntungan masa depan yang diharapkan berasal untuk jalannya suatu perusahaan.

Sementara jika mengacu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), aset tak berwujud adalah aktiva nonmoneter yang bisa diidentifikasi, tidak memiliki wujud fisik secara nyata serta dimiliki guna menghasilkan maupun menyerahkan barang dan jasa, disewakan ataupun hanya bertujuan administrasi.

Dalam praktiknya, PSAK memberikan kriteria tersendiri terkait pengakuan aktiva tak berwujud, yaitu: 1) Aktiva tersebut dapat diidentifikasi. Implikasinya, aktiva tersebut memiliki manfaat ekonomis yang dapat dijual, disewakan atau dipertukarkan secara terpisah. 2) Perusahaan memiliki kendali atas aktiva tersebut 3) Di masa mendatang, perusahaan akan memperoleh manfaat atas kepemilikan aktiva tersebut 4) Harga perolehan aktiva tak berwujud dapat dihitung secara andal.

Walaupun pada awalnya PSAK sebagai pedoman dalam melalukan praktik akuntansi di Indonesia masih belum bisa memantapkan pengakuan human capital, namun beruntung karena sejak tahun 2012 penerapan PSAK di Indonesia mulai berkiblat pada penerapan International Financial Accounting Standards (IFRS). IFRS sebagai standar akuntansi yang dikelarkan oleh International Accounting Standard Board memang memberikan perhatian terhadap pengakuan human capital sebagai aset.

Lantas, terkait pengakuan pesepakbola sebagai aset tak berwujud, ada baiknya melihat kembali apakah pesepakbola memenuhi kriteria untuk diakui sebagai aset tak berwujud tersebut.

Dapat dipastikan bahwa tujuan klub membeli dan memiliki pemain sepakbola adalah untuk menghasilkan bahkan meningkatkan keuntungan ekonomis di masa depan. Semua yang berhubungan dengan industri sepakbola adalah upaya untuk menghasilkan gelontoran uang lewat pertandingan sepakbola. Mereka, para pengelola klub, adalah orang-orang yang menggunakan romantisme dan fanatisme suporter untuk meningkatkan keuntungan klub sebagai perusahaan.

Keuntungan ekonomis yang bisa dijanjikan oleh pemain sepakbola terhadap klub yang meminangnya adalah kontribusinya dalam pertandingan yang tentu saja dapat mengantarkan klub kepada kesuksesan demi kesuksesan. Mungkin pengakuan pemain sebagai aset tak berwujud terkesan ambigu karena pemain adalah sesuatu yang memiliki fisik. Ia bisa dilihat dan disentuh, ia tidak serupa pengetahuan atau ide yang tidak memiliki wujud semacam brand ataupu goodwill. Namun yang perlu dipahami adalah  yang diperjual belikan bukanlah pemain tersebut; melainkan keterampilan dan satu-dua hal yang mengikuti; seperti nama besar.

Keterampilan seorang pesepakbola adalah aset yang vital bagi perusahaan berwujud klub sepakbola. Pemain dengan keterampilan dan kemampuan bersepakbola yang hebat dapat membuat kesebelasan semakin kokoh. Kesebelasan yang demikian adalah kesebelasan yang menguntungkan. Kemenangan demi kemenangan akan mendorong para pendukung semakin loyal terhadap klub yang digilainya. Akibatnya, keuangan klub semakin gemuk lewat penjualan tiket-tiket pertandingan, hak siar ataupun merchandise.

Layaknya perusahaan lain yang memiliki kendali atas kepemilikan aset mereka, klub sepakbola juga memiliki kendali yang sama atas pemain. Kendali ini tentunya didapat dari kontrak yang telah disepakati antara klub dan pemain.Dalam kontrak seharusnya dijelaskan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi keduanya. Mengingat keduanya terikat kontrak, maka segala aktivitas persepakbolaannya juga tidak boleh sampai melanggar klausal-klausal yang ada dalam kontrak. Kendali klub terhadap pemain juga mencakup kapan klub bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual pemain. Jika klub menganggap kalau kepemilikan seorang pemain masih menguntungkan, kontrak tentunya bisa diperpanjang.

Yang terakhir adalah harga perolehan aktiva dapat diukur secara andal. Nilai perolehan seorang pemain tentunya dinilai dari nilai transfer yang disepakati antara klub dan pemain. Penentuan harga perolehan pemain sering menimbulkan situasi rancu.Akan muncul pertanyaan tentang historical cost untuk pemain yang berstatus free transfer atau didapatkan secara barter, adakah aset bernilai negatif dikemudian hari karena diamortisasi tanpa nilai yang mengurang?Ternyata tidak demikian, pertanyaan ini terjawab oleh konsep nilai wajar aktiva atau harga aktiva jika dijual saat ini.Sedangkan  untuk harga perolehan pemain-pemain yang berasal dari akademi sepakbola, sewajarnya dihitung dengan menggunakan metode historical cost.

Historical cost sendiri adalah penyajian data laporan keuangan berdasarkan terjadinya transaksi, mengacu pada harga-harga yang terjadi pada masa lampau. Bahasa sederhananya, jika pemain berasal dari akademi maka penentuan nilai perolehan juga harus memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama masa pembinaan atau pengembangan di masa lampau - juga biasa disebut sebagai penetapan amortisasi.

Dengan argumen-argumen di atas maka jelaslah bahwa untuk industri sepakbola, seorang pemain dapat dikapitalisasi dan diakui sebagai aset tak berwujud. Selanjutnya, yang perlu dipikirkan adalah seperti apa perlakuan akuntansi aset tak berwujud ini - yang tentu saja harus sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi di setiap negara. Misalnya bagaimana cara mengkapitalisasinya, berapa nilai kapitalisasi ataupun seperti apa pelaporan aset tak berwujud ini.

Yang jelas, metode apapun yang digunakan dalam menentukan nilai kapitalisasi pemain, yang harus dipastikan adalah metode yang digunakan benar-benar bisa mengefektifkan biaya dan memastikan bahwa penilaian tidak menyesatkan. Nilainya aktual, tidak dilebih-lebihkan atau dikecil-kecilkan.Seperti misal harga transfer seorang Cristiano Ronaldo dari sporting lisbon ke manchaster united bandingkan dengan harga transfer setelah ia dijual ke real madrid yang menjadi nilai transfer pemain termahal kala itu. Atau coba bayangkan perbandingan biaya yang dikeluarkan barcelona saat pertama kali merekrut seorang lionel messi dan bandingkan dengan harga jual "jika" dia dijual ke klub lain. Artinya belum ada metode amortisasi yang cukup valid untuk mengukur keberadaan aset pemain dalam klub/tim/perusahaan secara pasti karena nilai seorang pemain dapat berubah drastis sewaktu - waktu.

Namun di atas segalanya, klub sepakbola sebagai perusahaan adalah industri yang bergantung sepenuhnya kepada keberadaan pemain.